Menjadi Pemimpin dengan Gaya Seorang Guru
Kakanwil Kemenag Jateng Drs. H. Ahmadi M.Ag. |
Guru
itu sangat mulia. Suka berbagi dan bisa menjadi teladan bagi orang-orang
sekitar.
Setidaknya
gagasan itulah yang masih dipegang erat oleh sosok nomor satu di Kantor Wilayah
Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jawa Tengah. Dialah Ahmadi, seorang guru
agama dari Kalimantan Selatan.
Cita-citanya sejak kecil tak lebih menjadi
seorang guru. Untuk itulah, meskipun kini dia seorang Kakanwil, tetapi semangat
keguruannya itu masih menyala. Menurutnya, seorang pemimpin ditutut bisa
menjadi guru: mampu memberikan arahan dan bimbingan.
“Sebab
pemimpin itu harus mempertanggungjawabkan, mulai dari urusan negara hingga
rumah tangga. Untuk itu harus bisa memberikan bimbingan dan arahan yang baik
kepada yang dipimpin. Guru agama atau apapun itu harus bisa digugu dan ditiru,”
kata Ahmadi beberapa waktu lalu.
Ahmadi
lahir di Kandangan, Negara, Kabupaten Hulusungai Selatan, Kalimantan Selatan pada
6 April 1959. Ahmadi lahir di lingkungan keluarga yang taat beragama. Dia merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan MohZaeni (alm) dan Hj Mulyani.
Ahmadi mengawali karirnya sebagai seorang guru agama di kampung halaman. Lelaki
berkacamata itu memiliki keyakinan, seorang guru agama bisa membentuk diri
sendiri untuk jadi lebih baik. Guru adalah bagian dari para pewaris nabi yang
juga memiliki tugas memberikan keteladanan.
Keinginan
kuat Ahmadi untuk menjadi seorang guru muncul karena dorongan berbagai faktor,
terutama dari keluarganya. Dia mengungkapkan, ayahnya bukanlah seorang guru
dalam arti profesi. Namun dalam kesehariannya dia adalah guru ngaji bagi
anak-anak di kampungnya. Bahkan ayahnya sempat menjadi juru Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ).“Walaupun tak sebagai pegawai, tapi pandangan beliau terhadap masa
depan anak sangat penting. Beliau melihat pendidikan sangat penting,”
ungkapnya.
Ahmadi
kecil pun mulai belajar. Sekitar umur5 tahun dia sudah masuk sekolah Madrasah
Ibtidaiyah (MI, setingkat sekolah dasar) Salmaniyah. Sekolah tersebut didirikan
oleh Kakek Salman. Mulanya, Ahmadi masuk kelas hanya untuksekolah-sekolahan.
Sebab saat itu takbanyak anak kecil yang sekolah. “Ketika itu umur saya 5 tahun
dan ternyata dianggap mampu sebagai murid.Akhirnya sekolah beneran dan
tamat tahun 1970,” katanya.
Selama
duduk di bangku MI dia juga belajar di Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada sore
harinya. Usai menamatkan pendidikan diMI tersebut,Ahmadi lalu melanjutkan
studinya di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri.PGA empat tahun dijalaninya
hingga lulus pada 1974. Dia kemudian memilih melanjutkan PGA enam tahun dan lulus pada 1976.
Selama
sekolah di PGA, Ahmadi juga aktif belajar agama Islam kepada seorang tuan guru
dengan sistem ngaji duduk.Hal itu dilakoninya karena di tempatnya tak
ada pesantren. Di situlah Ahmadi bisa belajar agama ala pondok pesantren sambil
menamatkan sekolah di PGA.
Begitu
lulus PGA, dia langsung bertolak ke Banjarmasin melanjutkan pendidikan di Unlam.
Jarak antara kampung halamannya dengan Banjarmasin sekitar 160 Km. "Saya
kuliah di Unlam mengambil Jurusan Pendidikan Program Studi Bimbingan Sekolah.
Mustinya jadi konselor,"katanya sembari tersenyum.
Usai
tamat kuliah pada 1980,Ahmadi yang menyandang sarjana muda lalu mengabdikan
dirinya di kampung sebagai seorang guru. Dia mengajar di Madrasah Aliyah (MA)
danMadrasah Tsanawiyah (MTs) sekaligus. Dia juga membangun sebuah SMA yang
diberi nama Sumber Ilmu. "Sekolahnya mulai dinegerikan setelah saya keluar
kampung. Alhamdulillah, lulusan pertama lulus 100 persen. Semuanya jadi pegawai
negeri sekarang," katanya.
Ahmadi
menjadi guru honorer di kampungnya selama lebih kurang dua tahun. Diakuinya memang menyenangkan jadi guru.Bahkan dia masih sempat mengajari anak-anak di kampung mengaji Alquran. Pada 1982
Ahmadi diangkat menjadi pegawai negeri di Balai Diklat Keagamaan di
Banjarmasin.
Pada
1988-2004Ahmadi didapuk sebagai widyaiswara. Lalu Pada 2005 mulai menjadi
pejabat strukturalsebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha di instansi yang sama.
"Saya
sambil kuliah S2 di IAIN Antasari (2002-2004) mengambil konsentrasi Filsafat
Pendidikan Islam,"katanya.
Selanjutnya
pada awal 2007 Ahmadi diminta untuk pindah ke Jakarta mejabat sebagai Kepala
Bidang Pusdiklat. Namun baru sekitar
satu setengah tahun dia sudah digeser lagi
ke Sekretariat Badan Litbang. Disitu dia mendapat amanah mengemban
jabatan sebagai Kepala Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi selama lima
tahun, yaitu dari 2008-2013.
“Lalu
saya dimintakesini (Kanwil Kemenag Jateng) jadi Kepala TU. Selama 11 bulan.
Juni ke Jakarta lagi jadi Kepala Bagian Penyusunan Perencanaan Anggaran Wilayah
II. Hanya lima bulan. 23 November 2014 saya dilantik jadi Kepala Kanwil Kemenag
Jateng,"paparnya.
Saat
pindah ke Semarang istrinya, Asikin Iriani langsung pensiun dini dan ikut
bersamanya. Sementara ketiga anaknya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Anak pertama, Alfina Rahma kini seorang dokter,anak kedua Andy Hafiz Anshary
kerja di Bandaradan yabg ketiga, Putri Amalia saat ini studi akhir di Unlam.
“Anak sudah mandiri semua jadi saya sudah bisa fokus kerja,” katanya.
Anak-anaknya
memang tak menjadi guru sebagaimana sang ayah. Meski demikian Ahmadi selalu
mewanti-wanti agar mereka bekerja dengan baik.
"Paling
tidak jadi dokter yang Islami. Begitu juga yang bekerja di Bandara. Bisa
melayani masyarakat dengan hati nurani. Alhamdulillah bisa diterapkan oleh
anak. Misalnya saat
bertugas di Puskesmas ada yang orang beli obat tapi tak
punya uang, maka dia dikasih aja,” katanya.
Dorong
Gerakan Zakat Jateng
Penulis foto bersama Kakanwil Kemenag Jateng, Ahmadi. |
Sebagai
seorang Kakanwil, Ahmadi juga mendorong orang-orang di sekitarnya untuk berbagi
melalui gerakan zakat. Hampir di setiap kesempatan saat berkunjung ke daerah
dia selalu ikut memotivasi agar pengelolaan zakat lebih optimal. Baik melalui
kelembagaan maupun perseorangan.
Ahmadi
memandang, nilai berbagi memiliki potensi yang sangat besar. Terlebih di
wilayah Jawa Tengah yang notabene keberagamaannya sangat tinggi. "Sehingga
ketika disentuh dengan nuansa agama tak ada masalah," katanya.
Terkait
optimalisasi gerakan zakat, Ahmadi sudah menyiapkan strateginya. Yaitu melalui
pengembangan lembaga resmi yang ada, seperti Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS). Termasuk pengembangan ekonomi syariah.
Menurut
dia, pengelolaan BAZNAS harus dilakukan secara profesional. Amik yang mengelola
harus memiliki kompetensi dan kemampuan yang baik. Meliputi teknik pengumpulan,
memberdayalan dan mengembangkan aset yang dimiliki BAZNAS.
"Kami
berharap teman-teman di BAZNAS berkomitmen. Apa yang dikerjakan di BAZNAS
merupakan pekerjaan utama. Memiliki etika kerja dalam mengelola. Saat ini
BAZNAS mulai berkembang baik. Secara hukum sudah ada. Tinggal kembali lagi
seberapa baik komitmen kita," katanya.
Ahmadimengungkapkan,
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo beberapa waktu lalu telah meluncurkan
gerakan zakat di kalangan PNS, BUMN/BUMD Pemprov Jawa Tengah. Hal itu
hendaknyadisikapi dengan baik. Dengan adanya gerakan itu, secara struktural
semua instansi siap melaksanakan melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang telah
dibentuk.
Ahmadi
melanjutkan, BAZNAS juga perlu melakukan pendataan yang akurat. Sebab,
sistem informasi data informasi yang akurat sangat penting. Selain
itu, pengelolaan zakat musti dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
yang kurang mampu. Melalui pemberdayaan itu diharapkan ada semangat masyarakat untuk bangkit dari yang terpuruk menjadi lebih baik.
"Saya
ingat kata Pak Ganjar.Raskin (beras miskin) dll itu tak mensejahterakan. Itu
hanya memenuhi kebutuhan sesaat. Yang nensejahterakan itu membagi, membimbing
dan memberikan pendidikan. Tiga hal itu penting,"ungkapnya. (Abdul Arif)
Post a Comment for "Menjadi Pemimpin dengan Gaya Seorang Guru"