Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kita Dilahirkan tidak untuk Panik

#1

Entahlah, kenapa saya tiba-tiba menjadi cerewet di blog ini. Cerita semacam ini sungguh tidak layak untuk dibaca. Tetapi saya sudah kadung bingung mau bercerita kepada siapa. Biarlah Tuhan yang memilih orang yang tepat untuk membaca catatan ini. Saya tidak sedang mengeluh. Saya hanya berusaha untuk tidak panik menatap kenyataan yang membingungkan. Saya justru penasaran, bagaimana saya bisa melalui skenario rumit yang diberikan Tuhan kepada saya. Entahlah, yang pasti Tuhan telah berjanji  tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuan.

***

Tugas presentasi mata kuliah Landasan Kependidikan yang diampu oleh dosen saya, Pak Wardono di Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (Unnes) rampung sudah. Sedikit lega karena tentu akan ada lebih banyak waktu untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya. Begitu kelas ditutup saya langsung berkemas dan bersiap menuju kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang untuk sebuah tugas liputan.


Ya, Selasa 29 September 2015 adalah hari pertama saya bekerja di metrosemarang.com, sebuah media online lokal di Kota Semarang. Meski tak punya kartu pers, tapi saya sudah mengantongi surat tugas liputan dari pemimpin redaksi. Sebelumnya saya memang sudah bekerja di Harian Tribun Jateng sebagai wartawan tetap. Namun saya memilih resign. Loh, kenapa? Saya akan membahas alasan saya keluar dari perusahaan besar Kompas Gramedia Group itu di lain kesempatan.

Karena saya juga harus bekerja, saya harus menduakan tugas kuliah. Bagi saya tidak terlalu sulit, karena jam perkuliahan hanya padat pada Senin dan Selasa. Selebihnya waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Selepas dari kelas, saya mengendarai sepeda motor matic menyusuri Jalan Papandayan menuju Kampus Undip di Tembalang. Jalanan sedikit menanjak. Bunyi aneh terdengar dari sepeda motor saya. Ternyata van belt-nya sudah dimakan usia. Saya tahu karena sebelumnya sudah pernah diingatkan oleh seseorang: "Mas sudah waktunya van belt diganti karena jarak sudah melebihi 25.000 Km." Jarak tempuh sepeda motor saya sekarang sudah melebihi 28.000 Km di usianya yang ke-19 bulan.

Saya pun takberani melaju kencang karena takut van belt akan putus di jalan. Bayangkan, uang di dompet saya hanya tersisa Rp 16 ribu, sangat tidak cukup untuk biaya penggantiannya. Sementara saya harus membeli bensin Rp 10 ribu, sehingga yang bertahan tinggal di dompet hanya dua lembar Rp 2.000 an, selembar Rp 1.000 dan dua koin Rp 500 an. Maklum, sudah sebulan ini saya tak ada pemasukan yang bisa diandalkan. Saya hanya bertahan dengan honor lukisan sketsa atau karikatur yang tidak menentu.

***

"Lek wes ada duit?" Pesan singkat berbahasa Jawa ini masuk ke ponsel saya sekitar pukul 12.30 Wib. Pesan dari seorang kawan yang tempo hari uangnya kupinjam. Saya baru saja sampai di Kampus Undip saat membacanya.

"Kak, sangune ntek..." Dua pesan yang juga berbahasa Jawa masuk di menit berikutnya, sekitar pukul 12.51 Wib. Satu ke nomor selular yang lama dan satu lagi ke nomor baru saya. Pesan yang satu ini dari adik saya yang sedang belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Saya paham, terakhir kali saya memberikan uang saku lima hari yang lalu.

Dalam kondisi seperti ini, saya tidak langsung menjawab dua sms yang datang dari orang terdekat saya itu. Pertama, karena saya sedang tidak punya pulsa (syem, jan miskin tenan). Hanya ada paketan internet yang masih berlaku hingga dua bulan ke depan. Saya sudah mencoba untuk membalas pesan dari kawan saya itu melalui Blackberry Messenger (BBM). Namun tidak berhasil. Kontak BBM  kawan saya itu sedang tidak aktif. Lalu saya abaikan.

Sementara pesan adik saya hanya saya baca sekilas sambil berpikir untuk membalas pesan dan memenuhi permintaannya. Pesan darinya memang takbernada meminta. Tetapi hanya memberitahukan dan sebagai seorang kakak, saya harus bertangungjawab untuk memenuhinya. Yang jelas, saya tidak boleh panik. Sebab persoalan ini tidak akan selesai tanpa langkah-langkah yang didasari pemikiran yang tenang. Wallahu a'lam. (*)

1 comment for "Kita Dilahirkan tidak untuk Panik"