Penulis Tunanetra Ramaditya Adikara Berbagi Cerita Proses Berkarya
Penulis Tunanetra Ramaditya Adikara Berbagi Cerita Proses Berkarya |
Bagi Ramaditya Adikara (33), hal terpenting dalam berkarya adalah menciptakan karya yang bermanfaat untuk orang banyak. Menurutnya, itu merupakan kunci utama untuk bisa bisa menjadi legenda. Dia mencontohkan, penemu lampu dan pesawat telepon sangat melegenda lantaran karyanya bermanfaat untuk umat manusia.
"Untuk orisinalistas dipikir belakangan. Kalau saat ini yang paling banyak bermanfaat itu buku. Karya juga harus bisa menginspirasi orang lain untuk berkarya," ungkapnya usai mengisi seminar kepenulisan di Universitas PGRI Semarang, Kamis (23/10). Seminar yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang itu berlangsung di Auditorium Gedung Pusat Lantai 7.
Lelaki yang biasa disapa Rama itu mengatakan, kegiatan kreatifnya tak lepas dari dukungan orangtua. Orangtuanya lah yang memberikan motivasi selama ini.
"Kalau orangtua bilang saya tak boleh kemana-mana, saya tidak akan ke mana-mana. Tetapi orangtua saya memberi dukungan. Juga teman-teman saya. Lalu istri saya. Sebab banyak hal yang tak bisa saya lakukan sendiri," kata lelaki kelahiran Semarang, 3 Februari 1981 itu.
Rama yang mengenakan kaus putih berkemeja tanpa dikancingkan itu mengisahkan bagaimana perjalanannya menerbitkan dua buah novelnya, yaitu "Mata Kedua" dan "Hati Kedua".
"Kedua novel ini terinspirasi dari kisah saya semasa SMA dulu. Saya sekolah di SMA umum," katanya.
Rama menyebutkan, melalui novel tersebut dia ingin menunjukkan bagaimana kehidupan tunanetra itu.
Terutama bagi para pendidik agar bisa menerima kehadiran anak yang tunanetra yang masuk sekolah umum. Diakuinya, selama ini untuk masuk ke sekolah atau dunia kerja masih sulit bagi penyandang tunanetra.
"Novel ini sekaligus persembahan saya kepada sahabat dan kekasih, Rara. Selama belajar di sekolah umum dia selalu membantu. Kami berjumpa untuk kali pertama saat telat masuk sekolah. Karena sudah ditutup, gerbang dari besi di sekolah membuat tangan saya terluka. Rara datang menolongku saat itu," katanya sambil mengingat-ingat.
Nama Rara dipakai Rama menjadi tokoh utama dalam novel itu. Dia mengatakan, mengapa memakai judul "Mata Kedua" lantaran sosok Rara selama ini yang membantu membacakan buku pelajaran. Rama merekamnya di dalam kaset.
"Tunanetra itu paling minim penampilan. Sebab tidak bisa mengaca, menyusun pakaian seperti apa. Tetapi Rara mengajari saya. Memakai kaus, celana jeans, pakai kemeja atau jaket yang tak dikancingkan dan bertopi yang menjadi karakter saya selama ini yang mengajari Rara," ujarnya.
Tetapi sayang, kebersamaan Rama dan Rara hanya berlangsung dua tahun, karena meninggal dunia. Sejak itu, Rama berjanji untuk mengabadikan kisahnya dalam sebuah novel. "Saya menulis novel ini lebih kurang 14 tahun. Cukup lama," katanya. Menurutnya, novel "Mata Kedua" ditulis dari sudut pandang Rama. Sedangkan novel "Hati Kedua" dari sudut pandang Rara.
Rama menyadari, keterbatasan fisiknya sedikit banyak berpengaruh terhadap proses kreatifnya. Namun tak mengurangi semangatnya. Dia justru terbantu dengan adanya teknologi. "Sejak kecil saya terbiasa pakai mesin ketik. Sekarang sudah pakai komputer. Ada aplikasi yang membantu membaca layar, mengubah teks ke dalam bentuk suara," katanya.
Rama mengatakan, mulai serius menulis sejak merilis web pribadinya pada 2003. Berangkat dari sana, lalu ada seorang redaktur yang mengajak bergabung di detik mulai 2005- sekarang.
Selain berbagi kisah inspiratifnya, Rama juga memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mensyukuri karunia Tuhan. Dia mengajak mahasiswa untuk sejenak menutup mata dan meminta untuk membayangkan jika tak memiliki penglihatan. (Tribun Jateng, Selasa 28/10)
Post a Comment for "Penulis Tunanetra Ramaditya Adikara Berbagi Cerita Proses Berkarya"