Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ngaji Jurnalisme Investigasi bersama Pemimpin Redaksi majalah Tempo

Diskusi jurnalistik bersama Azul
Menulis berita bagi Arif Zulkifli adalah kegiatan memaparkan fakta dalam bentuk tulisan. Menurut lelaki yang biasa disapa Azul itu, saat ini semua orang berhak dan bisa melakukannya lantaran bantuan media sosial. Facebook, twitter, blogger dan sebagainya menjadi sebuah keniscayaan. Dengan kenyataan itu, semua orang bisa menjadi wartawan. Demikian disampaikan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu dalam sebuah diskusi di sekretariat AJI Semarang, Jumat (17/10/2014) petang.

Namun, yang membedakan dengan wartawan sungguhan adalah adanya etik. Unsur etik menjadi pegangan seorang wartawan ketika melaksanakan kerja jurnalisme. Di dalam etik ada unsur verifikasi dan pengecekan berita, tidak asal posting saja.

Jurnalisme online yang dewasa ini marak dalam bentuk portal, memainkan kecepatan. Kedalaman berita adalah hal lain. Azul akan memilih kedalaman, bukan kecepatan. Syukur-syukur bisa kedua-duanya. Sebab, orang-orang menantikan kedalaman.

Jurnalisme investigasi bukanlah jurnalisme warga yang hanya memaparkan fakta-fakta di permukaan saja. Jika ingin tetap sintas, media harus bisa mengungkap informasi kedalaman.

Ledakan sosial media, murahnya gadget dan membanjirnya informasi saat ini memang tak bisa terelakkan.
Tetapi Azul melihat, pasti ada yang bisa dilakukan lebih banyak di tengah-tengah arus itu. Era portal yang menguak kedangkalan menurutnya lambat laun akan membuat pembacanya bosan.

Sejauh ini, dia tak melihat adanya kontradiksi antara media cetak dan online. Keduanya saling melengkapi. Liputan investigasi bisa dinyatakan dalam versi online. Dia menyadari betul. Sebelum menyajikan majalah Tempo, awak majalah tersebut berpikir terlebih dahulu, media Tempo seperti apa yang akan dibikin? Sebab, Tempo edisi yang lama lebih mendekati liputan feature yang merujuk majalah Times.

Dia menyebutkan, dalam kasus "Ekonomis" lebih kentara mengutamakan sikap, ketimbang informasi dan faktanya. Namun, dalam perkembangannya, sikap saja tak cukup. Ternyata fakta menjadi penting. Orang-orang meskipun membutuhkan sikap, juga membutuhkan apa yang terjadi di balik semua fakta itu. Brand itulah yang kemudia ditanamkan oleh awak majalah Tempo untuk menyajikan produknya. Jadi, bukan sekadar sikap, tetapi juga apa yang diungkap.

Adapun, terkait penulisan sejarah yang dilakukan majalah Tempo dalam edisi khususnya menjadi kerja jurnalistik yang mengasyikkan. Menurut Azul, sejarag bergerak dengan masa lalu, tetapi jika digali kembali akan muncul sesuatu yang baru. Menulis sejarah baginya merupakan sebuah oase di tengah kesibukan rutinan yang menjemukan. Masa lalu akan bisa menjadi masa kini ketika diangkat saat ini.

Keasyikan Jurnalistik

Sejauh ini, Tempo abai dengan pasar. Para awak justru memikirkan apa yang asyik untuk ditulis. Tetapi justru tulisan-tulisan itu yang diminati dan laris sebagaimana edisi khusus yang diterbitkannya.

Soal keasyikan itu misalnya, Tempo dalam satu waktu pernah menerbitkan "Surga-surga yang Tersembunyi" dalam suatu edisi khusus. Para awak mencari tempat di Indonesia yang belum pernah ditulis atau dipublikasikan. Mereka mengundang pemanjat tebing, tukang camping dan sebagainya untuk mendapatkan informasi. Lalu diperolehlah 100 list lokasi yang memiliki keindahan wisata.

Azul menyebutkan, ada sebuah goa di Bantul yang tidak diperhatikan pemerintah. Untuk masuknya saja harus bekerjasama dengan Mapala untuk masuk ke dalam goa. Ternyata di dalamnya ada 100 air terjun yang maha indah.

"Kita mikirnya, asyik ndak secara jurnalistik. Bukan secara bisnis. Keasyikan jurnalistik bisa diterjemahkan ke dalam keuntungan ekonomis," begitu ujarnya.

Bagaimana jika sampai dealine ternyata data yang dibutuhkan dalam investigasi belum didapat? Investigasi itu ilmu mendefinikasn tujuan. Misalkan sebuah puzzle tentang Monalisa. Jika baru mendapatkan kupingnya saja, jangan dikatakan bahwa itu adalah lukisan Monalisa. Jurnalistik investigasi mengajarkan kepada wartawan untuk rendah hari. Kerendahhatian untuk bertanya sesuatu yang tak sesuai dengan asumsi. Bahwa mereka ternyata juga seorang yang lemah dalam membuktikan hipotesanya.

Investigasi bermula dari asumsi dan hipotesa. Jika ada dokumennya, kita pakai dokumen. Yang musti ditata adalah seorang wartawan musti sabar dalam membaca dokumen. Dokumen apa? Apa yang dibicarakan?

Adapun, tulisan jurnalistik yang bagus adalah informasinya bersumber dari tangan pertama. Semakin ke belakang akan semakin jauh kredibilitasnya. Tetapi untuk kasus tertentu itu tak masalah. Satu contoh, untuk kasus pemerkosaan, narasumber yang paling sah adalah korban dan pelaku. Tetapi karena alasan etik, maka kredibilitasnya mau tak mau harus diturunkan.

Adapun, satu sumber berita saja belum menjadi sumber. Pasalnya, semakin banyak sumber atau pihak yang menguatkan berita itu, akan semakin sahih beritanya. Dan yang terpenting, berita itu tidak merepresentasikan fakta, tetapi mendekati fakta. Kerja jurnalisme tak mungkin menghasilkan kebenaran 100 persen, tetapi setidaknya mendekatinya. Begitu.

Post a Comment for "Ngaji Jurnalisme Investigasi bersama Pemimpin Redaksi majalah Tempo"