Pram Mengisahkan Indonesia dengan Apik
“Cerita,
semuanya tentang manusia, kehidupannya bukan kematiannya,” kata Pram melalui
dialog Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam novel Bumi Manusia. Lelaki yang memiliki nama lengkap Pramoedya Ananta Toer itu selalu
mengusung kehidupan manusia dalam karya-karyanya.
Kisah-kisah
yang ia tulis, menurut Eka Kurniawan (2006) tak menampakkan tradisi jenaka
maupun unsur sarkasme sebagaimana para pengarang pada masanya, seperti Idrus,
Balfas, dan Asrul Sani. Cerita-cerita Pram justru lurus, serius, dan dengan
gaya naratif dramatis. Pendek-pendek laiknya seorang dalang berkisah. Dan, yang
membuatnya khas, karya Pram dibangun dari latar belakang sejarah dan pengalaman
hidup.
Ihwal
kepenulisannya bermula ketika melenggang dari Blora dan belajar bahasa
Indonesia di Taman Siswa. Saat itu ia juga bekerja sebagai juru ketik di kantor
Berita Jepang, Domei. Catatan Prof Koh Young Hun (2011) menyebutkan, Pram
menaruh minatnya pada buku-buku sastra ketika naik kelas tiga Taman Siswa dan
sekolah itu dibubarkan oleh Jepang, 1943.
Ia juga pernah terjun di dunia militer. Bahkan
ia sempat menjabat perwira letnan dua
yang memimpin 60 orang pasukan. Naskah novel pertamanya berjudul Sepuluh Kepala Nica hilang saat bertugas
di Cikampek.
Naskah
kedua berjudul Di Tepi Kali Bekasi lahir
pada 1947 ketika bekerja sebagai redaktur majalah Sadar, edisi Indonesia untuk
majalah The Voice of Free Indonesia. Pram menulis naskah tersebut
berdasarkan kisah-kisah nyata.
Ketika
aksi militer Belanda I, 21 Juli 1947 pecah, Pram ditangkap tentara Belanda
karena menyebarkan risalah-risalah dan majalah perlawanan. Naskah-naskah yang
ia tulis sejak 1938 dirampas. Ia kemudian ditahan di tangsi Angkatan Laut di
Gunung Sahari. Lalu dipindahkan ke tangsi Polisi Militer di Jaga Monyet.
Selanjutnya pindah ke Pulau Edam. Ia dipenjara tanpa proses pengadilan.
Selama dua
tahun mendekam di penjara, putra Toer itu hampir memutus asa. Ia kepingin bunuh
diri. Tetapi, ternyata Tuhan berkehendak lain. Dalam senyap penjara itu ia
mengatakan, “Bunuhlah aku bila tak dibutuhkan lagi oleh kehidupan.” Dari situ,
Pram justru mendapat inspirasi untuk menghasilkan karya dan menghapus keinginan
untuk bunuh diri.
Beberapa
cerpen dan novel telah ia lahirkan dari ruang bui, seperti Perburuan dan Keluarga
Gerilya. Prof Resink membantu dalam penyelundupan tulisan-tulisannya,
sehingga dapat dipublikasikan di beberapa media saat itu.
Realisme
Sosialis
Bagi Pram, manusia adalah sumber kejahatan sekaligus kebaikan. Kepercayaannya itu
melatarbelakangi jiwanya dalam menghadapi lakon manusia yang ganas, tidak adil
dan tolol. Sehingga membuahkan Pram yang selalu membela kebebasan, keadilan
sosial, dan kemanusiaan bagi rakyat jelata. Maka, di setiap karya kreatifnya ia
selalu menghadirkan seorang hero yang mampu bertindak untuk bangsanya.
Pengalaman
kehidupan serta sejarah menjadi amunisi ampuh untuk menghasilkan karya. Prof
Koh Young Hun mengatakan, karya-karya Pram merupakan hasil seleksi pengalaman
hidup yang ditempuhnya. Pram memiliki sensitivitas tajam untuk mengolah
pengalaman hidup menjadi sebuah karya sastra.
Pram
menganggap bahwa seni sastra yang terbaik adalah yang melakukan pemihakan.
Sikap itu bisa kita tengok dalam tetralogi buru yang meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca yang mengisahkan sejarah pergerakan nasional
Indonesia masa 1898-1918.
Tengara
Eka Kurniawan, kegilaan Pram terhadap sejarah dipengaruhi teori Maxim Gorky
yang menyebutkan: the people must know
their history. Rakyat harus tahu sejarahnya. Pengaruh lain muncul dari
aliran realisme sosialis yang memiliki watak memberanikan rakyat untuk meninjau
sejarahnya sendiri.
Soal
realisme sosialis, Pram memang pernah mengutarakannya di depan publik. Ia pernah
menulis sebuah makalah berjudul Realisme
Sosialis dan Sastra Indonesia yang disampaikan pada sebuah seminar yang
digelar Fakultas Sastra Universitas Indonesia akhir Januari 1963. Meski begitu
dalam wawancara majalah Tempo 4 Mei 1999 Pram mengaku tidak pernah membela
realisme sosialis. Namun, Goenawan
Muhamad menilai jika doktrin realisme sosialis sangat penting bagi Pram.
Makalah Pram yang kemudian dibukukan itu adalah wujud advokasi Pram.
Doktrin
itu pula yang dijadikan pegangan resmi seniman anggota Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Lembaga itu merupakan organisasi seniman terkuat semasa 1950-an
sampai 1960-an.
Kisah
Indonesia
Dalam
novel Perburuan, Pram memaparkan
semangat anti-Jepang. Novel yang rampung pada Mei 1949 itu lahir dari
pengalaman Pram semasa Jepang menduduki Blora, 2 Maret 1942. Ia menjadi saksi
mata ketika pasukan Jepang menganiaya rakyat Indonesia. Harta dijarah dan
perempuan-perempuan diperkosa.
Novel itu
mengangkat kemanusiaan sebagai tema utama. Hardo sebagai tokoh utama dalam
novel itu, digambarkan sebagai anggota Pembela Tanah Air (Peta) yang melakukan
pemberontakan terhadap Jepang dengan semangat patriotisme.
Selain
itu, melalui tetralogi Bumi Manusia, Pram
mengungkap kesengsaraan rakyat pribumi dan citra pemberontak kekuasaan kolonial
dengan tokoh utama Minke. Dalam novel itu, Minke adalah seorang pribumi dan
anak priyayi berpendidikan eropa di Hogere Burger Schol (HBS). Pribadi Minke
adalah titik temu dua kebudayaan berpengaruh. Di satu sisi ia adalah seorang keturuan
Jawa dengan adat istiadat yang kuat, di sisi lain ia berpendidikan Eropa
liberal.
Pendidikan
Eropa mengetuk kesadarannya, bahwa tradisi budaya bangsanya justru menjadi
penghalang bagi kemajuan. Minke terjebak konflik di persimpangan budaya besar.
Minke yang gelisah itu mencoba menegakkan jati dirinya sebagai pribadi Jawa.
Minke digambarkan oleh Pram sebagai perintis gerakan nasional di
Indonesia.
Karya-karya
Pram mengisahkan sejarah Indonesia dengan apik. Pram berhasil menghadirkan dan
membentuk tokoh-tokoh historis ke dalam karya penuh reka. Sehingga novel-novel
Pram disebut-sebut sebagai novel sejarah. A Teeuw memberi penegasan bahwa
penulis novel sejarah menekankan pemberian makna pada eksistensi manusia
melalui cerita, peristiwa yang barangkali secara faktual tidak sesuai, tetapi
secara maknawi logis. Pram sendiri menegaskan, novel-novelnya harus dibaca
sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah.[Abdul Arif]
Soeket
Teki Edisi 6, 2013
Post a Comment for "Pram Mengisahkan Indonesia dengan Apik"