Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mahasiswa Tanpa Demonstrasi

Majalah Missi, edisi 35 April 2013

Seorang mahasiswa mulai jenuh dengan kehidupan di kampus. Ia benar-benar ingin segera meninggalkan tempat yang kata orang, surga ilmu. Di kampus, ia melihat sekumpulan mahasiswa yang tiada henti mendiskusikan masalah kehidupan. Soal negara, rakyat miskin, kebutuhan hidup yang tinggi, dan sebagainya.

Namun, baginya tempat itu tak ubahnya seperti tempat latihan bersilat kata. Ia melihat benih-benih pikiran yang sudah membusuk di kepala. Sesama kawan mahasiswa, begitu tega saling sikut. Begitulah, mereka memang selalu mengutip teori-teori kehidupan yang indah, tetapi sesungguhnya nihil dalam perbuatan.

Mahasiswa itu pun mulai gelisah memikirkan kampusnya yang minus orientasi. Ya, sejak awal banyak kawan mahasiswanya yang salah orientasi. Pertama kali menginjakkan kaki di kampus, mereka sudah diajak untuk menjalin tali permusuhan sesama kawan. Iklim kompetisi yang digelar saban tahun bernama Orsenik ternyata tak ubahnya ajang untuk pamer kegarangan. Bukan untuk menjunjung tinggi sportivitas, tetapi masing-masing kontingen fakultas justru saling ejek. Bahkan, segala jenis nama hewan, nama hantu sempat keluar dari mulut mahasiswa.

Sungguh naif. Kata-kata yang tak pantas diucapkan oleh mulut penyandang intelektualitas yang saban hari melahap buku. Entahlah, sebenarnya apa yang mereka pikirkan di kepala, selain “menggosipkan” negara dan rakyat kecil?
Keteladanan memang harus ada. Apalagi di kampus sehijau ini. Tetapi, menjadi teladan itu sendiri adalah perkara yang tidak gampang. Teladan itu lahir untuk menjawab kesalahpahaman mahasiswa dalam menjalani proses kehidupan. Teladan tidak cukup hanya dengan mengumbar kata-kata dalam lingkar diskusi. Apalagi “mengeksploitasi” sepotong ayat suci atau teori seseorang untuk kepentingan diri.

Teladan selalu berkait erat dengan urusan nurani. Ketika mahasiswa menampak sesuatu dan hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu, sebenarnya keteladanan itu muncul. Ia semacam bahasa cahaya‒bahasa yang lahir dari lubuk hati terdalam ‒yang datang dari Tuhan.

Nyatanya, keteladanan itu makin hari makin tenggelam. Era jahiliyah modern yang bernama kekerasan, korupsi, terorisme, dan lainnya semakin mendominasi dunia kampus. Meliputi sebagian besar kalangan. Bahkan, tak bisa dimungkiri kita sendiri adalah sebagian dari mereka. Aduh, apa iya?
Bisa jadi. Dan kita cenderung bungkam ketika mengetahui. Kebenaran itu manis. Tetapi terkadang terasa pahit saat diungkap. Karena itu tak banyak yang berani menyampaikan. Apalagi jika kebenaran itu menyangkut kebusukan diri atau teman sendiri.

Dekat dengan kebenaran juga memicu mudarat. Orang-orang hebat di dunia ini sudah pernah merasakan. Nabi Muhammad dimusuhi kaumnya gara-gara berita kebenaran. Di negeri ini, sastrawan Pramoedya Ananta Toer harus mendekam di balik jeruji gara-gara menulis “cerita” berisi kebenaran.
Di kampus ini, ada surat kabar yang mengungkap kelalaian seorang kawan mahasiswa. Sebetulnya berniat untuk mengingatkan atau meluruskan. 

Nyatanya mereka juga memusuhi. Tak kepalang, mentang-mentang mahasiswa yang punya jabatan, berusaha menyumbat dana penerbitan surat kabar itu.

Begitulah, jadi mahasiswa itu makin lama makin pusing sendiri. Bukan segudang ilmu yang didapat setelah ngampus. Justru kebingungan, karena di kampus justru jauh dari kecendekiawanan. Meskipun berdiskusi dan membaca buku, toh tak malu membuat keributan di jalanan. Atas nama demokrasi, memblokir jalan‒yang berarti melarang pengendara melewati jalan‒dianggap halal.

Sebenarnya apa yang mahasiswa perjuangkan? Jika dinalar, kalau mahasiswa itu ingin memperjuangkan rakyat kecil, kenapa lagi-lagi rakyat yang harus dikorbankan. Bukankah pengendara motor, atau yang sekadar menumpang itu juga rakyat? Kenapa juga saat demonstrasi membawa bendera warna-warni, seolah menunjukkan kepentingan kelompok.

Jika sudah semacam itu, maka semua menjadi tidak penting. Mahasiswa yang tidak ikut demonstrasi terjun ke jalan, tidak salah. Mereka justru memilih jalan yang damai‒meski harus dikata-katai apatis atau apa‒tanpa anarkisme dan stigma negatif lainnya.

Tanpa demonstrasi pun, sebenarnya masih mahasiswa. Dan bisa melakukan hal-hal lain yang terbaik untuk negeri ini. Wallahu a’lam

-Abdul Arif, pengelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Mahasiswa Tanpa Demonstrasi"