Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Komik untuk Belajar

PANDANGAN publik, terutama kalangan pendidik selama ini meyakini bahwa komik identik dengan sesuatu yang negatif. Komik masih dianggap sebagai buku yang ”meracuni” peserta didik. Membaca komik akan meng­ganggu kegiatan belajar. Bah­kan stigma negatif semacam ini telah dilembagakan di sekolah pada era 1990-an. Peserta didik yang membawa buku komik ke sekolah dirazia.

Padahal, komik memiliki sisi lain yang  positif. Ia mampu me­mikat pembaca, sehingga tidak pernah bosan untuk menamatkan isinya. Jika potensi besar ini di­manfaatkan untuk kegiatan pembelajaran, akan memberikan dampak besar pada kemajuan pendidikan.

Kehadiran komik dalam kegiatan pembelajaran akan memberi nuansa baru. Setidaknya ia mampu merangsang atau menjadi stimulan saat kegiatan belajar. Hal ini sebagaimana pendapat L Crow dan A Crow, bahwa proses pembelajaran hendaknya dirangsang atau distimulasi dan dibimbing ke arah hasil-hasil yang diinginkan. Rangsangan tersebut bertujuan untuk membangkitkan minat dalam kegiatan belajar.

Komik merupakan cerita bergambar kartun yang mudah dicerna sekaligus lucu. Bundhowi berpendapat, penggunaan gambar kartun dalam pembelajaran memiliki peranan penting karena peserta didik sangat tanggap terhadap stimulan visual yang lucu, menarik dan praktis. Selain itu, media komik sangat dekat dengan kehidupan peserta didik. Bahkan beberapa tokoh kartun dari dunia komik sangat familier di telinga mereka. Tentu menjadi menarik ketika komik dihadirkan dalam proses pembelajaran di kelas.

Karakteristik komik yang menyenangkan berpotensi memicu peserta didik untuk belajar secara mandiri. Mereka tidak akan bosan membaca komik secara berulang-ulang. Dengan begitu peserta didik lebih mudah menangkap materi yang hendak disampaikan. Menurut Levie, stimulan gambar membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, menghubung-hubungkan fakta dan konsep.

Sentuhan Lokal


Hanya saja, persoalan yang kini muncul adalah komik yang sesuai dengan napas pendidikan di Indonesia masih minim. Komik yang beredar di pasaran belum sesuai dengan budaya bangsa kita yang menekankan pada moralitas. Masih banyak komik yang memuat materi kekerasan, pornografi, dan kata-kata kotor. Pengalaman penulis, pernah suatu ketika membeli buku Komik Matematika di sebuah toko, tetapi isinya mengecewakan: gambar-gambarnya tidak mendidik.

Untuk itu, perlu adanya inovasi mengembangkan komik yang sesuai dengan dengan arah pedidikan karakter. Nilai lokalitas hendaknya menjadi isu utama dalam pengembangan komik. Sebab, selama ini kearifan lokal bangsa banyak yang terabaikan, sehingga sedikit demi sedikit mengalami pengikisan.

Dengan sentuhan nilai lokal, komik akan berperan ganda. Selain mempermudah dalam menyampaikan materi pembelajaran, ia juga mampu menjadi alat untuk memperkuat nilai-nilai budaya lokal.

Suara Merdeka, 20 Juli 2013

Post a Comment for "Komik untuk Belajar"