Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teater Kampus yang Galau

Teater kampus pelan-pelan ditinggalkan “masyarakatnya.” Ia laiknya suatu objek yang awalnya dikagumi lantas ditinggal pergi. Ada apa gerangan? Kenapa kini teater kampus tak lagi digemari masyarakat kampus (baca: mahasiswa)?
Ya, melihat perkembangan teater kampus terkini, membuat gelisah sekaligus tertawa dalam hati.  Yang membuat gelisah adalah apa yang saya sampaikan di atas. Beberapa kali meliput kegiatan teater kampus, yang meliputi pementasan teater, monolog, musikalisasi puisi dan kegiatan seni lainnya, mayoritas pengunjungnya adalah awak-awak teater sendiri. Meskipun ada  pengunjung dari luar kampus, itupun orang-orang yang bergelut di dunia seni atau dari kelompok teater kampus lain. Tak banyak dari mahasiswa biasa yang mau menjadi saksi pementasan teater kampus.
Bahkan seorang pegiat teater kampus sendiri mengakui, teater kampus seolah terasing di kampus lantaran tak ada yang meliriknya. Pihak birokrasi kampus pun enggan untuk sekadar menyokong dana untuk pementasan.
Alhasil para pegiat teater kampus bekerja ala kadarnya. Menyiapkan pementasan dengan keterbatasan dana. Inilah yang membuat hati saya tertawa. Di tengah keterbatasan dana dan keterasingan dari masyarakat kampus, teater kampus masih tetap eksis.
Karena keterasingan itulah, teater kampus justru menuai kegalauan. Sampai ratusan kali digelar pun, pertunjukkan teater tak akan mampu memberi pengaruh kepada mahasiswa.  Sebab para pemirsa pertunjukan itu tak lain adalah para pegiat teater kampus sendiri. Para pegiat berpusing-pusing sendiri menyiapkan  pentas, lantas ditonton dan dinikmati sendiri.
Kondsi semacam inilah yang kemudian disebut Donimic Strinati dalam buku “Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer” sebagai atomisasi. Ini diartikan sebagai sebuah masyarakat massa yang terdiri atas orang-orang  yang hanya bisa berhubungan satu sama lain yang bermakna dan koheren secara moral. Orang-orang di dalamnya terisolasi layaknya atom dalam senyawa fisika atau kimia.
Ya, teater kampus mengisolasi dirinya dengan masyarakat kampus. Ia menjadi sejenis kelompok yang tak dikenal dan teralienasi dari masyarakatnya.  Jika separah itu, maka tak ada lagi yang mau mengkritik pementasan teater. Bagaimana mengkritik, menonton saja tidak!
Minimnya kritik membuat teater kampus berjalan dengan gamang. Seolah-olah tidak ada yang kurang. Bisa jadi, merasa sudah tak ada lagi yang perlu dibenahi. Mereka hanya mendiskusikan dirinya sendiri dan berbagi kegalaunnya sendiri. Mereka jauh dari pisau kritik yang tajam.  
Tontonan
Sebagai laboratorium pengetahuan, hendaknya kampus mampu berada di garda depan dalam menjaga kehidupan teater Indonesia. Hal itulah yang pernah diimbau oleh Putu Wijaya (2008) kepada awak teater kampus. Ia melihat masih banyak kekurangan dalam tubuh teater kampus. Hanya penataan set dan musik yang ia anggap menunjukkan kemajuan. Selebihnya perlu pembenahan.
  Sepantasnya, teater kampus mulai menyadari betapa teater adalah ilmu. Sebab untuk menghasilkan sebuah pentas yang berkualitas tak terlepas dari pembelajaran yang  keras. Menurut Putu, banyak sekali buku-buku tentang seluk beluk teater yang perlu dipelajari. Dan masing-masing teater memiliki langkah, acuan, dan pendekatan yang berbeda. Maka sepandai-pandainya teater kampus menentukan jenis teater apa yang pantas dengan kondisi kampus.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka benar apa yang dikatakan Halim MD dalam tulisannya yang berjudul “Yang Hilang dari Teater Mahasiswa” (SM,8/4), teater hanyalah kegiatan waktu luang di antara kegagalan mata kuliah.
Teater kampus juga harus memahami kondisi sosial masyarakat kampus. Sebagai penikmat pertama, masyarakat kampus membutuhkan tontonan yang tak sekadar duplikasi dari realitas sosial. Perlu adanya penafsiran baru terhadap realitas sosial untuk didekontruksi menjadi karya seni yang mampu membangun realitas masa depan menjadi lebih baik.  
Teater kampus haruslah menjadi tontonan. Sebagai tontonan, teater harus menarik, menghibur, membuat penasaran, komunikatif, dan mampu memberikan pengetahuan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan mengingat bahwa dunia kampus adalah gudangnya pengetahuan. Teater harus dibalut dengan intelektualitas. Sehingga mampu menghasilkan seni berkualitas.
Dengan laku berkesadaran itu, teater kampus tentu tak ditinggalkan para penontonnya. Maka, segera lakukan perubahan. Jangan berlarat-larat dalam kegalauan!
Abdul Arif, Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Teater Kampus yang Galau"