Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pergeseran Orientasi PTAI

Tulisan Rosidi yang berjudul “Keteladanan yang Terlupakan” (SM, 10/11) menarik untuk diperbincangkan.  Rosidi menengarai adanya pengaburan terhadap sosok Walisongo yang berjasa banyak bagi bangsa ini. Ia menuding, keberadaan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) saat ini tak mampu menjadi institusi penerus perjuangan Walisongo.  Fakta yang ada, PTAI sebatas lembaga pendidikan tinggi yang hidup dengan nama agung Walisongo.
Barangkali benar, niat awal pendirian PTAI dengan berbagai nama dari angggota Walisongo itu sebagai spirit intelektualisme Islam. Tetapi perlu dipertanyakan kembali:  apakah benar pemberian nama PTAI dengan nama  agung salah satu Walisongo  dengan niat meneruskan perjuangan mereka? Atau hanya  sebatas strategi untuk menggait masyarakat, mengingat nama-nama Walisongo telah membumi.
Menurut Musahadi dkk (2003), keberadaan PTAI merupakan salah satu mata rantai perjuangan para tokoh agama Islam di Indonesia dalam bidang pengembangan agama Islam secara kelembagaan. Keberadaannya tak lepas dari peran Departemen Agama (Depag) saat itu. Pembentukan Depag sebagaimana Ketetapan Pemerintah No. 1/SD tahun 1946, untuk mengemban tugas utama membina dan mengembangkan kehidupan keagamaan di Indonesia.
Pendirian PTAI dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, tertinggalnya masyarakat Islam dalam mengembangkan pendidikan dibanding dengan masyarakat nomuslim. Hal inilah yang kemudian berimbas teralienasinya  mayoritas masyarakat Islam dalam merumuskan agenda-agenda nasional.
Kedua, masyarakat nonmuslim lebih maju karena menguasai ilmu-ilmu barat. Sedangkan umat Islam sejauh itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman tradisional seperti fikih, kalam dan tafsir. Akibatnya pendidikan kurang berkontribusi bagi proses pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Dengan alasan-alasan itu, tuntutan melahirkan lembaga pendidikan tinggi Islam  yang  inklusif dan dinamis tak bisa dielakkan. Dr Satiman Wirdjosandjoyo misalnya, pada tahun 1940-an mendirikan  Yayasan Pesantren Luhur sebagai pusat pendidikan tinggi Islam. Namun upaya itu kandas karena intervensi Belanda. Upaya serupa juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KH Wahid Hasyim dan KH Mas Mansyur pada 8 Juli 1945 yang mendirikan Sekolah Tingi Islam (STI) di Yogyakarta. Namun STI ditutup ketika revolusi kemerdekaan meletup.
STI dibuka kembali pada 6 April 1946 dan setahun kemudian beralih nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) yang menaungi empat fakultas: agama, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Pada perkembangannya, melalui peraturan pemerintah No 34, pada 26 September 1950, pemerintah menegerikan Fakultas Agama menjadi PTAIN. Setahun kemudian PTAIN ini telah menaungi tiga fakultas: tarbiyah, qadha, dan dakwah.
Orientasi Pasar
Pada perkembangan selanjutnya, minat masyarakat luas untuk belajar di PTAI semakin tinggi. Lantas pemerintah menjawab hal itu dengan Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dan resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 yang berisi tentang pembentukan   PTAI di daerah-daerah. Maka sampai saat ini berdirilah beragam PTAI yang menyebar di beberapa daerah wilayah Indonesia.
Data dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) tahun 2012 menyebutkan, ada sebanyak 53 PTAIN di Indonesia. Dari jumlah itu,  enam UIN, 16 IAIN, dan 31 STAIN. Mayoritas PTAI menyandang nama para Walisongo dan ulama daerah.
Jika menengok sejarah di atas, bias kita simpulkan bahwa PTAI sebagai wadah untuk mengembangkan keilmuan agama. Hal ini juga bisa kita lihat dari visi-misi masing-masing PTAI yang rata-rata menginginkan lahirnya intelektual Islam. Artinya, visi-misi itu sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh para Walisongo.
Namun, jika diamati pengembangan PTAI saat lebih ke arah pragmatis. PTAI dikembangkan sedemikian rupa untuk mencetak tenaga-tenaga sebagai pemenuhan atas kebutuhan dinas-dinas pemerintahan seperti menjadi guru agama atau pegawai pada Depag (saat ini Kemenag). Pendek kata, orientasi PTAI bukan lagi perjuangan mengembangkan agama Islam tapi lebih pada tuntutan pasar.
Terbukti, saat ini banyak PTAI yang berlomba-lomba membuka program studi (prodi) baru bidang umum untuk memenuhi tuntutan pasar. Tak pelak, jika prodi agama yang menjadi basis PTAI mulai luntur. Maka, orientasi PTAI perlu dikembalikan pada khittahnya. Memang, kajian terhadap keilmuan bidang umum mendesak untuk dilakukan. Namun, semangat Walisongo hendaknya tetap dikobarkan. Tentu dengan mengaktualisasikan keteladanan para Walisongo.  Sehingga dari rahim PTAI akan lahir kader-kader yang meneruskan perjuangan dengan kedamaian.
-Abdul Arif, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Mahasiswa Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Pergeseran Orientasi PTAI"