Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perempuan dan Bengis Angkot

Angkutan kota (angkot) adalah transportasi murah yang bisa dijangkau masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.  Banyak masyarakat yang memakai jasa itu. Namun setelah terjadi tragedi pemerkosaan, kini masyarakat tak nyaman lagi memakai jasa angkot. Tragedi itu menorehkan luka perih di hati perempuan.
Ya, sejak Agustus 2011 lalu, ada empat kasus pemerkosaan di atas angkutan umum di kawasan Jabodetabek. Di Makassar, Sulawesi Selatan, juga dikabarkan seorang siswi SMP direnggut kegadisannya di atas angkutan umum (Kompas , 3/2/2012).
Kasus pemerkosaan tak boleh dianggap remeh. Nursyahbani Kantjasungkana memandang masalah pemerkosaan sebagai problem sosial yang menyangkut masalah hak asasi manusia (HAM). Menurutnya masalah pemerkosaan haruslah di tempatkan pada konteks sosial yang lebih luas, di mana perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan dan dikontrol (Yuyun Affandi, 2010).
Dalam konvensi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan disebutkan, perlindungan terhadap perempuan mencapai ranah rumah tangga. Hal ini menunjukkan betapa perempuan harus dilindungi. Perempuan memiliki hak-hak yang mencakup perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman, dan pengabaian martabat manusia.
Pengelolaan Angkot
Kesetaraan gender memang membuka gerbang bagi perempuan untuk meraih impian yang sama dengan kaum lelaki. Bahkan saat ini banyak  kaum hawa mengalami metamorfosis. Mereka berubah dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Banyak perempuan yang kini menjadi wanita karier atau bekerja di luar rumah. Sehingga profesi  mereka makin sejajar dengan profesi lelaki. 
Di era emansipasi saat ini, ruang gerak perempuan tak lagi terkungkung di ruang domestik. Perempuan mendapat kesempatan untuk berkompetisi di ruang publik.  Namun, kesempatan itu justru mendatangkan masalah baru bagi perempuan. Yaitu, soal jaminan keamanan. Meski kondisi mental kuat, fisik mereka tetaplah lemah. Artinya, mereka butuh perlindungan dan jaminan keamanan ketika berada di luar.
Di sisi lain jaminan keamanan bagi perempuan di ruang publik sangat minim. Hal itu berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 3 Februari 2012. Sebagian besar responden (69,8 persen) menilai kinerja pemerintah dalam memberi jaminan keamanan kepada masyarakat, terutama kepada perempuan, di tempat publik dan angkutan masih buruk.
Terbukti, kasus pemerkosaan terhadap perempuan kian meningkat. Data dari Polda Metro Jaya menunjukkan angka kejahatan pemerkosaan  meningkat 13,3 persen. Itupun belum dijumlah dengan korban yang enggan melaporkan kasusnya. Bisa saja jumlah yang tidak melapor lebih tinggi.
Masalah kekerasan dan pemerkosaan di angkutan harus segera ditangani. Pemerintah hendaknya membuat kebijakan khusus tentang perlindungan perempuan di ruang publik semisal di dalam angkutan. Pola angkutan umum yang semrawut harus segera ditata.  Sehingga benar-benar menjamin keamanan penumpang, terutama perempuan.
Sementara itu bagi pelaku harus diganjar hukuman yang setimpal. Pasal 285 KUHP  tentang ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun tak membuat pelaku gentar. Hukuman itu tak sebanding dengan dampak  sosial yang ditanggung  korban sepanjang hayatnya.
Dukungan
Kebanyakan masyarakat memandang korban pemerkosaan antara simpati dan menyalahkan. Paradigma yang berkembang di masyarakat perlu diluruskan. Selama ini yang diyakini jamak orang, kejahatan pemerkosaan adalah akibat dari ulah korban sendiri yang memakai busana transparan dan kegenitan. Selain itu masyarakat juga meyakini pemerkosaan biasanya dilakukan di tempat yang sepi. Namun pada kenyataannya, tak semuanya itu benar.
Busana transparan hanya salah satu penyebab. Realitanya banyak kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan dengan busana yang sopan. Seperti kasus mahasiswi yang naik angkot di Jakarta pada Agustus 2011 lalu, ia dirampok, diperkosa lantas dibunuh.
Jika diamati, penyebab tindakan pemerkosaan terhadap perempuan lebih kompleks. Yuyun Affandi dalam buku Pemberdayaan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual menyebutkan beberapa faktor yang melatarbelakangi tindakan keji itu.
Pertama, pelaku terpengaruh dengan bacaan dan video porno yang dewasa ini sangat mudah diakses. Kedua, kesepian. Ketiga, pelaku mempunyai dendam terhadap korbannya. Misalnya, lamarannya pernah ditolak sehingga ia memaksa dengan kekerasan. Keempat, pengaruh minuman keras. Dan terakhir, dorongan seks yang terlalu kuat. Faktor dominan kekerasan seksual terhadap perempuan berasal dari pelaku.
Masyarakat perlu mengubah pandangan terhadap  korban perkosaan dan menerimanya kembali di tengah masyarakat  tanpa stigma. Sebab korban masih dalam kondisi lemah dan harus menjalani penyembuhan, baik medis maupun  psikologis. Butuh dukungan dari berbagai pihak, terutama keluarga dan masyarakat untuk memulihkan kondisi korban perkosaan.
-Abdul Arif, sekretaris redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo, pengkaji masalah sosial budaya di komunitas Soeket Teki Semarang

Post a Comment for "Perempuan dan Bengis Angkot"