Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mewujudkan Kampus Antikekerasan

Dunia kampus gempar. Bentrok antarmahasiswa di Makassar beberapa waktu cukup memilukan. Dua mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar tewas dalam insiden berdarah itu (SM, 16/10).
Pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Universitas Jayabaya pada Senin (22/10) juga diwarnai kericuhan. Bentrok terjadi antarkelompok mahasiswa asal Makassar dengan mahasiswa Universitas Trisakti yang berbuntut enam mahasiswa luka-luka (Kompas, 24/10).
Kasus tersebut hendaknya menjadi bahan refleksi untuk semua kalangan, baik perguruan tinggi (PT) atau mahasiswa itu sendiri.  Kekerasan di kalangan mahasiswa tak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada upaya untuk menanggulanginya.
Dunia kampus dibangun dengan iklim intelektual. Semangat Tridharma PT: pendidikan, penelitan, dan pengabdian kepada masyarakat, hendaknya menjadi asas  dalam mengembangkan potensi kampus. 
Dari situ, sangat kontradiktif jika mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual terlibat kasus tawuran. Betapa ironis, ketika mahasiswa digadang sebagai generasi bangsa unggulan tak bisa menampilkan karakter bangsa yang luhur. Tentu akan memupus harapan Bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik.
Tak hanya itu, bentrok antarmahasiswa adalah cermin betapa pendidikan telah gagal menjalankan fungsinya. Pendidikan yang tinggi ternyata tak bisa menjamin seseorang memiliki karakter unggul. Terbukti para pelajar dan mahasiswa masih tergoda untuk mengadu otot. Sebuah pilihan yang menyimpang dari esensi pendidikan.   Pendidikan karakter yang dikoarkan sejauh ini belum bisa menunjukkan keberhasilannya.
Komitmen bersama untuk menegakkan antikekerasan di kampus yang dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh bersama rektor PT se-Indonesia perlu didukung semua pihak. Deklarasi “Perguruan Tinggi  Antikekerasan” hendaknya menjadi amunisi untuk memerangi kekerasan di kampus. Kampus bukanlah tempat untuk pamer kekuatan, tetapi untuk mengembangkan keilmuan.    
Peran Tridharma
Kasus kekerasan di kalangan mahasiswa menuntut solusi.  Pembuatan payung hukum untuk PT dalam rangka memerangi aksi kekerasan tentu sangat tepat. Namun, yang perlu diperhatikan oleh PT adalah tindakan pencegahannya. Sebab, kegiatan mencegah perlu digalakkan secara terus-menerus.
Semangat PT antikekerasan harus dikampanyekan dalam berbagai hal. Optimalisasi peran Tridharma PT sangat tepat untuk mengurangi potensi aksi kekerasan mahasiswa di kampus. Sejauh ini segenap civitas academica belum total dalam melaksanakan amanat tridharma PT. Kegiatan penelitian misalnya, penelitian mahasiswa masih minim.
Dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUPT) pasal 48 dijelaskan, PT hendaknya berperan aktif dalam kegiatan penelitian. Butir kedua pada pasal tersebut menjelaskan, pemerintah dan masyarakat mendayagunakan PT sebagai pusat penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan.  Artinya, semua elemen kampus termasuk mahasiswa harus terlibat aktif dalam kegiatan penelitian itu.
Nyatanya, mayoritas mahasiswa melaksanakan penelitian hanya satu kali ketika akhir studi: skripsi. Padahal banyak agenda penelitian, hanya saja mahasiswa jarang dilibatkan.
Ke depan, hendaknya mahasiswa dilibatkan aktif dalam penelitian. Setidaknya mampu menyita energi mereka untuk kepentingan akademis.  Selain itu, ketika mahasiswa sering dilibatkan agenda penelitian, pisau  analisis mahasiswa akan terasah.
Tak hanya itu, mahasiswa juga perlu diberdayakan dalam agenda pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Sejauh ini peran itu juga sekali dilakukan, yaitu ketika mahasiswa mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Jika ditakar, nilai pengabdian dalam program KKN belum seberapa. Gerakan Indonesia Mengajar  yang digagas oleh Anies Baswedan patut ditiru. Tak perlu jauh-jauh ke pelosok negeri, kampus bisa mendayagunakan mahasiswanya untuk pengabdian kepada masyarakat sekitar.
Masih banyak upaya untuk mencegah aksi kekerasan mahasiswa. Tentu dengan memberdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan positif. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) misalnya. Dengan bergelut di UKM, mahasiswa mampu menyalurkan energinya untuk pengembangan bakat dan minatnya. Selain itu, mahasiwa akan mendapat nilai plus ketika bergabung di UKM (Abdul Arif, SM 6/10).
Di UGM, UKM dibentuk sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan mahasiswa (Kompas, 18/10). Pemberdayaan UKM secara tidak langsung mampu menumbuhkan kebersamaan antarmahasiswa. Sebab, di UKM mahasiwa antarfakultas dapat bergelut bersama dan saling mengenal. Dari situlah tumbuh solidaritas yang kuat antarmahasiswa. Setuju? Tak setuju tak masalah. Yang penting jangan tawuran.
 
-Abdul Arif, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Mahasiswa Tadris Matematika  Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Mewujudkan Kampus Antikekerasan"