Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Efektivitas Pendidikan Antikorupsi

Di sekolah kita, dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi (PT) bakal ketambahan muatan pendidikan antikorupsi.  Kebijakan tersebut rencana diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada tahun ajaran 2012/2013. Tepatnya bulan Juni mendatang.

Kerjasama antara Kemdikbud dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, memiliki tujuan mulia: membentuk generasi baru antikorupsi. Generasi tersebut diimpikan sebagai anak-anak muda yang jauh dari sikap koruptif.

Langkah ini mencoba menjawab kondisi bangsa  yang  tengah karut-marut. Kasus tindakan korupsi seolah tiada titik hentinya. Tiap hari media massa, baik elektronika maupun cetak tak bosan membincang persoalan korupsi.

Memang kaderisasi koruptor di Indonesia berlangsung secara sistematis. Wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas mengungkapkan, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi sarang strategis pembiakan koruptor. Jika dibanding masa Orde Baru (Orba), korupsi yang melanda sekarang lebih parah. Pada masa Orba korupsi hanya terjadi di lembaga eksekutif. Sungguh ironis, era reformasi yang seharusnya mengantar Indonesia ke arah yang lebih baik, malah menjadi musim subur berkembangbiaknya koruptor.

Tak hanya itu, partai politik, birokrasi, dan penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim juga sangat potensial sebagai tempat pembibitan koruptor muda.

 Lihat saja, banyak sekali kalangan muda akhir-akhir ini disorot media gara-gara kasus korupsi. Sejumlah pemuda tersebut mayoritas  bergelut di lembaga-lembaga pemerintahan.  Di antaranya, Muhammad Nazaruddin terdakwa kasus Wisma Atlet Sea Games Palembang dan Angelina Sondakh yang berstatus tersangka yang keduanya berasal dari Partai Demokrat. Ada juga Wa Ode Nurhayati dari Partai Amanat Nasional. Ketiganya masih muda, belum genap usia 35 tahun.

Sementara itu, di lembaga birokrasi ada Gayus Tambunan yang baru-baru ini divonis hukuman penjara 28 tahun dan disita hartanya. Disusul Dhana Widyamika pegawai pajak yang beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai tersangka. Mereka juga masih muda.

Antikorupsi
Sikap koruptif yang ditunjukkan beberapa pemuda tersebut menunjukkan bahwa kondisi pemuda di negeri ini tengah mengalami degradasi moral. Maka, gagasan pendidikan antikorupsi mencoba memecahkan persoalan tersebut. Materi pun sudah disusun sedemikian rupa agar bisa membekali peserta didik dengan jiwa antikorupsi.

Hanya saja, gagasan tersebut perlu diiringi perombakan paradigma pendidikan di negeri ini. Ya, selama ini pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pada nilai atau pada aspek kognitif saja. Kebijakan Ujian Nasinonal (UN) misalnya, hanya menakar keberhasilan peserta didik dari segi kognitif saja. Dikhawatirkan, jika pendidikan antikorupsi ini diterapkan, akan menjadi sia-sia. Sehingga, pendidikan antikorupsi berlaku formalitas saja. Pasalnya, peserta didik lebih mengejar angka daripada aspek sikap dan praktiknya.

Saya  menduga, penerapan pendidikan antikorupsi justru memancing rasa penasaran peserta didik. Secara fitrah, jika seseorang dilarang untuk melakukan sesuatu ia cenderung tertarik melakukannya. Selain itu, semakin orang itu tahu terhadap sesuatu, ia akan terangsang untung melakukannya.

Maka Mendikbud bersama satuan pendidikan di penjuru Indonesia perlu menciptakan suatu lingkungan yang ideal, bebas dari perilaku negatif. Termasuk perilaku  korupsi. Hal ini justru bertolak belakang dengan situasi negeri saat ini. Korupsi terjadi di mana-mana. Tak hanya di lembaga pemerintahan saja, di semua sektor di mana uang berada, rentan terjadi korupsi.

Efektifkah?
Dugaan saya ternyata benar. Di kalangan mahasiswa  yang notabene kaum intelektual ternyata  rentan terhadap tindak korupsi. Satu contoh, dalam suatu organisasi kemahasiswaan, seorang pengurus melakukan penyelewengan anggaran. Sisa anggaran masuk ke kantong beberapa pengurus. Laporan keuangan dibuat sedemikian rupa agar bisa diterima.

Sungguh ironis mengingat mahasiswa memiliki kapasitas intelektual yang tinggi. Seharusnya mereka tahu jika tindakan semacam itu adalah hal tercela. Apalagi mereka juga getol meneriakkan antikorupsi. Ternyata peran pendidikan tak bisa menjamin seseorang bebas dari korupsi. Justru sebaliknya, semakin seseorang pintar, korupsi yang dilakukannya semakin rapi. Inilah yang membuat saya tidak yakin bahwa pendidikan antikorupsi bakal meredam tindakan korupsi di negeri ini.

Namun, lebih baik gagasan Mendikbud terkait pendidikan antikorupsi tetap diterapkan. Hanya saja pendidikan antikorupsi tak hanya berlaku untuk satuan pendidikan, perguruan tinggi, dan tenaga kependidikan saja. Partai politik juga harus mendapatkannya. Ya, semoga saja bisa mengatasi persoalan korupsi. Wallahu a’lam bisshawab. Bagaimana kawan-kawan mahasiswa, pendidikan antikorupsi, efektifkah?

-Abdul Arif, Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang.

Post a Comment for "Efektivitas Pendidikan Antikorupsi"