Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Butuh Keteladanan

Tulisan saudara Andri Andrianto yang berjudul “Menimbang Pendidikan Antikorupsi” (SM, 17/3) menarik untuk diperbincangkan. Dalam tulisan tersebut, dikatakan bahwa pendidikan antikorupsi seolah menemukan momentumnya. Ya, memang kondisi bangsa kita saat ini tengah disibukkan dengan kasus korupsi, tetapi persoalan ini tak cukup diberantas dengan pendidikan pendidikan antikorupsi.
Penerapan muatan pendidikan antikorupsi yang menurut rencana akan dimulai tahun ajaran 2012-2013 justru akan sia-sia belaka. Pasalnya, kita tahu sendiri orientasi pendidikan kita masih jauh dari harapan. Keberhasilan peserta didik hanya diukur dengan angka. Taruhlah Ujian Nasional (UN) yang begitu meresahkan peserta didik. UN hanya mencakup satu aspek saja: kognitif. Padahal keberhasilan suatu pendidikan harus mencapai tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Melihat realitas semacam itu, sangatlah sulit untuk menetapkan parameter keberhasilan pendidikan antikorupsi. Romo Mangunwijaya sendiri pernah mengaku, pendidikan kita adalah pendidikan tanpa arah. Ia menilai praktik pendidikan di negeri ini hanya mencetak robot-robot yang tak tahu apa-apa.
Pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa pendidikan di negeri tak menjamin seseorang menjadi lebih baik. Saya mengartikan demikian karena pendidikan hanya dilakukan secara formal.
Sejak awal masuk sekolah, peserta didik telah disibukkan dengan pelajaran-pelajaran yang sebenarnya tidak membentuk karakter. Ia terkungkung dalam formalitas sekolah dan terisolasi dengan masyarakat. Hal inilah yang kemudian berdampak pada minimnya sosialisasi antara peserta didik dan masyarakat.
Padahal, peserta didik lebih banyak menerima pelajaran dari masyarakat. Ia akan menimba nilai-nilai dari masyarakat sekitarnya. Sekolah hanya menutup akses mereka dengan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, memang bertujuan  baik. Dengan pendidikan antikorupsi, akan terbentuk generasi baru antikorupsi. Generasi tersebut adalah anak-anak muda yang bakal memimpin bangsa ini dengan semangat antikorupsi.
Hanya saja ada beberapa masalah vital yang harus dibenahi. Pertama, maraknya korupsi di negeri ini adalah cermin lemahnya penegakan hukum. Hal ini sangat kontras dengan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Jika memang pemerintah bersungguh-sungguh, karus korupsi harus dituntaskan dengan cepat. Hukum harus ditegakkan dan tak pandang bulu.
Minim Teladan
Kedua, minimnya keteladanan dari pemimpin. Banyak sekali pejabat di lembaga kenegaraan yang terjerat kasus korupsi. Lihat saja, Muhammad Nazaruddin terdakwa kasus Wisma Atlet Sea Games Palembang dan Angelina Sondakh yang berstatus tersangka yang keduanya berasal dari fraksi Partai Demokrat. Ada juga Wa Ode Nurhayati dari faksi Partai Amanat Nasional.
Sementara itu, di lembaga birokrasi ada Gayus Tambunan yang baru-baru ini divonis hukuman penjara 28 tahun dan disita hartanya. Disusul Dhana Widyamika pegawai pajak yang beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai tersangka.
Membaca realita yang ada, bangsa ini sebenarnya tidak butuh pendidikan antikorupsi, tetapi butuh keteladanan antikorupsi dari para pemangku negeri ini. Keteladanan tersebut berupa sikap tegas dari pemerintah dalam memberantas korupsi. Dengan keteladanan tersebut, niscaya penyakit korupsi bias diobati. Begitu.
M Abdul Arif, Mahasiswa Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang dan Redaktur Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang.

Post a Comment for "Butuh Keteladanan"