Mendidik Nasionalisme di Daerah Tertinggal
Suara Merdeka, 22 Desember 2012
Anak-anak menyeberangi sungai untuk sampai di sekolah. (kompasiana.com) |
Program yang dibuka sejak 2011 itu telah memberangkatkan ribuan sarjana untuk mengajar di daerah terpencil. Mereka tersebar dari Desa Rinon, Aceh, sampai dengan Biak Numfor, Papua. Selama setahun, sarjana-sarjana itu menginfakkan waktunya untuk mengabdi.
Dari segi teknis, program SM-3T tampak seperti program Indonesia Mengajar (IM) yang digagas Anies Baswedan. Tapi ada yang beda, misi program SM-3T adalah sebagai pembinaan calon-calon guru. Berawal dari asumsi bahwa peningkatan kualitas pendidikan tanpa memerhatikan pemerataan akan mengorbankan anak-anak bangsa yang berada di daerah pelosok. Titik temunya pada pembinaan guru yang baik. Maka, program SM-3T menjadi upaya yang diyakini pemerintah dapat memperbaiki kualitas sekaligus memerataan pendidikan.
Peran guru dalam dunia pendidikan sangatlah penting. Keberadaannya menjadi indikator keberlangsungan proses pendidikan. Namun, guru yang berkompeten, profesional dan berkarakter, sulit ditemui. Terutama di daerah-daerah pelosok negeri ini. Maka, upaya pemerintah dalam melaksanakan program SM-3T perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Keuntungan
Jika ditakar, program SM-3T memiliki beberapa keuntungan.
Pertama, untuk melatih calon-calon guru agar peka terhadap keadaan sosial. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa seorang guru minimal memiliki empat kompetensi: profesional, pedagogis, sosial dan kepribadian.
Sejauh ini, kompetensi sosial dan kepribadian belum mendapat perhatian khusus dalam pendidikan calon guru. Maka, ketika sarjana sebagai calon guru turun langsung ke pelosok, ia dapat mengasah kepekaan sosial dan membentuk kepribadiannya dengan hidup bersama masyarakat setempat. Tentu akan menambah wawasan kebangsaan bagi sang calon guru. Bahwa tak melulu Jawa yang memerlukan pembangunan. Masih banyak bagian Indonesia yang miskin pembangunan.
Kedua, sebagai ajang membangun nasionalisme. Ya, nasionalisme anak bangsa di beberapa daerah pelosok negeri ini sedang terancam. Mereka seolah hidup sendiri tanpa mendapat perhatian dari pemerintah, baik urusan ekonomi maupun pendidikan. Semuanya hanya terfokus di kota-kota besar yang menjadi pusat perekonomian. Maka, tak salah jika identitas-identitas bangsa tak lagi melekat dalam kehidupan mereka.
Dalam film Tanah Surga... Katanya dikisahkan kehidupan seorang pemuda yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kalimantan Barat. Namanya Haris. Ia sudah bosan menjadi warga negara Indonesia. Iming-iming kehidupan lebih layak di negara tetangga, membuatnya rela meninggalkan Ibu Pertiwi. Film yang diproduseri Deddy Mizwar itu juga menyajikan ironi. Anak-anak sekolah dasar (SD) dalam film tersebut tak mengenal rupiah dan lagu kebangsaan Indonesia. Untuk mengajak mereka belajar membutuhkan kesabaran yang lebih.
Hal itu juga tampak di Biak Numfor, Papua. Di daerah tersebut, kuantitas guru sangat minim. Anak-anak mengalami persoalan disiplin dan semangat belajar. Namun, kehadiran sarjana peserta SM-3T di daerah tersebut ternyata membuahkan semangat baru.
Ketiga, program SM-3T dapat dijadikan sebagai alat kontrol perkembangan pendidikan di daerah terpencil. Sarjana yang bertugas di suatu daerah dapat menyampaikan persoalan-persoalan yang ada kepada pemerintah untuk dicarikan solusinya, sehingga kebutuhan-kebutuhan vital terkait pengembangan pendidikan bisa terakomodasi dengan baik.
Namun begitu, program SM-3T bukan tanpa cela. Hanya beberapa perguruan tinggi (PT) ternama yang ikut serta dalam penyelenggaraan program pengabdian itu. Padahal di negeri ini banyak sekali PT dengan beragam nomenklatur yang potensial. Sayang jika mereka tak dilibatkan dalam agenda mulia tersebut. Pembangunan hendaknya dilakukan secara sinergis. Sarjana-sarjana pendidikan dari PT mana pun hendaknya mendapat kesempatan yang sama untuk mengajarkan nasionalisme kepada anak-anak bangsa. (24)
—Abdul Arif, Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, mahasiswa Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang.
Post a Comment for "Mendidik Nasionalisme di Daerah Tertinggal"