Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memotret Jejak Kolonial



Kota dengan aura Belanda ini menyimpan riwayat panjang. Bangunan-bangunan kuno berjajar-berhadapan menarik perhatian. Orang-orang datang untuk mengabadikan gambar. Sayang, Kota Lama tak terawat.
Oleh Abdul Arif
Berjalan dari Pasar Johar Semarang menuju arah timur (jurusan Surabaya), kita akan merasakan sesuatu yang berbeda. Beberapa meter setelah melewati kantor Pos kita akan menjumpai bangunan-bangunan dengan arsitek khas. Dari sinilah, kita mulai memasuki kawasan kota lama. Jembatan Berok atau orang-orang Belanda dahulu menyebutnya  dengan De Zuider port menjadi salah satu pintu gerbang memasuki kota dengan sebutan the litle netherland itu.


Melewati jembatan Berok kita benar-benar memasuki kawasan Belanda. Dari Berok ke timur adalah jalan Letjen Soeprapto. Jalan tersebut searah (ke barat). Akan lebih nyaman dan romantis jika kita bersepeda atau malah berjalan kaki. Jalan ini merupakan jalur utama di masa kolonial Belanda. Jalan yang pada masa lalu bernama Heeren Straat ini menghubungkan antara gerbang satu dengan gerbang lainnya. Gerbang barat bernama De Wester Poort, sedangkan gerbang timur bernama De Oost Poort.

Kota Lama Semarang berada di Kelurahan Bandarharjo, kecamatan Semarang Utara. Luasnya mencapai 0,3125 km2. Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Merak, sebelah timur berbatasan dengan jalan Cendrawasih, sebelah selatan berbatasan dengan jalan Sendowo dan sebelah barat dengan jalan Mpu Tantular.

Peneliti Fakultas Teknik Universitas Katolik Sugijopranoto, LMF Purwanto menunjukkan Kawasan Kota Lama merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pada 15/01/1678 Kerajaan Mataram menyerahkan pelabuhan utamanya kepada VOC yang telah berjasa membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Sejak itu muncul pula berbagai pemberontakan atas pendudukan Belanda di Semarang. Lantas VOC membangun benteng yang mengelilingi pemukiman warga Belanda di atas tanah pemberian itu.
Lambat laun, kehidupan di dalam benteng tersebut berkembang dengan baik. Satu persatu bangunan baru didirikan. Sebuah peta tahun 1708 menunjukkan bentuk benteng yang bernama Vijhoek itu berbentuk segi lima. Benteng tersebut dikelilingi lima menara: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk, dan Bunschoten. Benteng ini berfungsi sebagai pusat militer.

Pemerintah Belanda juga membangun gereja Emmanuel atau sekarang dikenal dengan nama Gereja Blenduk di dalam benteng. Jika dihitung, usia Gereja Blenduk ini mencapai 257 tahun. Bangunan tersebut pertama kali didirikan pada 1753 oleh Belanda. Menurut data, bangunan tersebut sudah mengalami perombakan beberapa kali.  Bentuk bangunan yang sekarang ini merupakan karya HPA De Wilde dan W Westmaas yang saat ini difungsikan sebagai tempat ibadah jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)   Immanuel Semarang.

Arsitektur Kota Lama Semarang yang terlihat saat ini lebih nampak sebagai perpaduan gaya eropa dengan sentuhan lokal. Menurut B Adji Murtomo (2008) gaya arsitektur Kota Lama dikembangkan dari hasil pencarian kelompok pelukis de stijl oleh W M Dudok arsitek Liem Bwan tjie (1930) dan JEL Blankenberg (1938). Rancangan mereka memiliki ciri dinding polos dan jendela kaca yang menerus membentuk garis-garis horizontal kuat. Dengan paduan menara menjulang berhiaskan panel kaca sebagai titik tangkap, membuat kontras dengan sekitar.

Menghidupkan Seni dan Budaya

Kawasan kota lama dengan kekayaan urban heritagenya menjadi salah satu ikon wisata budaya di Kota Semarang. Banyak pengunjung yang tertarik pada bangunan-bangunan yang unik. Wawan misalnya, pria asal Jepara itu rela menghabiskan berjam-jam untuk mengambil gambar di kawasan Kota Lama. Ia datang bersama tiga orang kawannya, Ila, Marlin dan Reni. Mereka bergantian saling memotret. Berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain.

“Tempat ini sangat asyik untuk foto-foto. Banyak gedung-gedung yang bagus,” jawab Wawan ketika ditanya alasan memilih kawasan Kota Lama.
 Selain Wawan ada juga Pleb yang datang dari Demak untuk pembuatan video klip. Ia bersama grup band dan sejumlah kru seharian mengambil gambar di sekitar Gereja Blenduk. Taman Srigunting menjadi objek paling lama dalam pengambilan gambar.

“Ya, kita di sini sedang membuat video klip untuk album perdana berjudul Juwita,” ungkapnya. Menurutnya, latar Kota Lama sangat cocok dengan cerita dalam album Juwita.

Namun, di balik romantisme Kota Lama ternyata tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai. Hal itu diakui aktivis Oude Stad Art and Culture Semarang (Oase), Harry Suryo. Menurutnya kawasan Kota Lama belum bisa mengundang wisatawan. “Orang yang datang ke sini, ingin makan atau buang air, susah. Harus nyari di tempat lain,” ungkap lelaki pecinta sejarah itu.

Namun, Harry menilai, untuk membangun Kota Lama tak cukup hanya dengan modal infrastruktur saja. Lebih dari itu, kehidupan seni dan budaya di kawasan Kota Lama harus digalakkan. Ia pun bersama beberapa komunitas, seperti sepeda, photografer, seni dan lainnya mencoba menghidupkan kembali atmosfer kebudayaan di Kota Lama.

Ia memiliki angan-angan untuk menyuguhkan sesuatu yang khas Semarang di Kota Lama. “Kalau kita bisa mengenalkan seni atau cendera mata yang memiliki nilai jual, akan mengangkat Kota Lama,” ungkap Harry optimistis. Selain itu, Oase juga membuka ojek sepeda kuno. Ojek ini melayani masyarakat yang ingin berkeliling menikmati pemandangan di Kawasan Kota Lama.

Kendala Kepemilikan

Harry mengatakan, pengelolaan kawasan Kota lama masih menuai kendala. Hal itu diakui oleh Kepala Bidang Penataan dan Pemanfaatan Bangunan DTKP Kota Semarang Irwansyah sebagaimana dilansir Suara Merdeka (3/5). Menurutnya, dalam melakukan inventarisasi bangunan cagar budaya di Kota Semarang terkendala soal kepemilikan. Ia men jelaskan, sebagian besar bangunan itu milik perorangan.

Setidaknya ada sekitar 300 bangunan cagar budaya di Kota Semarang. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang menjadi milik Pemerintah Kota (pemkot). Irwansyah mengatakan, kendala dalam melakukan inventarisasi bangunan karena pemiliknya sulit diajak komunikasi.

Meskipun dalam Undang-undang dijelaskan bahwa pengalihan asset bangunan diperbolehkan dalam batas  waktu tertentu. Pemkot hati-hati dalam menagambil keputusan.   Menurut Irwansyah, butuh kajian mendalam dan melibatkan banyak kalangan untuk mengambil alih asset bangunan tersebut.

Sementara itu, Dewan Pengelola Kawasan Kota Lama (DPK2L) sebagai petugas  inventarisasi, merasa kesulitan menemukan pemilik bangunan-bangunan tersebut. Hal itu diakui oleh ketua DPK2L Kota Semarang Surachman. Ia mengatakan selama ini pihaknya sudah menyebar surat inventarisasi yang ditujukan kepada penghuni atau pihak yang menempati bangunan di Kota Lama, tapi belum  efektif.

Melalui surat itu, DPK2L meminta agar penghuni bangunan menyerahkan foto kopi surat hak milik (HM) bangunan dan data pemilik bangunan. Tenyata tak sedikit yang menyerahkan fotokopi surat Hak Guna Bangunan (HGB). Surachman mengaku, DPK2L masih menunggu hasil koordinasi dari Dinas Tata Kota dan Perumahan (DTKP) Kota Semarang. (Amanat edisi 118)

Post a Comment for "Memotret Jejak Kolonial "