Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengabdi di Pelosok Negeri

OKEZONE, 27/04/2012

Judul Buku: Indonesia Mengajar; Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis : Pengajar Muda
Penyunting : Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
Penerbit: Bentang
Tahun : I, November 2011
Tebal : 322 halaman
Harga : Rp54.000


Kondisi pendidikan bangsa kita saat ini masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Masih banyak daerah di negeri ini yang belum tersentuh secara maksimal. Pendidikan hanya terpusat di titik-titik perekonomian yang mapan. Belum ada upaya untuk melakukan pemerataan yang benar-benar final. 

Latar geografis Indonesia yang begitu luas menjadi hambatan dalam mewujudkan cita-cita mulia itu. Padahal belantara nusantara ini sarat dengan kekayaan. Kekayaan materi, bahasa, budaya, seni, dan keanekaragaman lainnya. Semuanya adalah potensi yang besar untuk sebuah kemajuan. Hanya saja belum kita manfaatkan dengan baik.

Apalagi jika kita tilik anggaran pemerintah untuk pendidikan mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut pada 2011 berkisar Rp266,9 triliun. Dan ternyata anggaran sebesar itu belum bisa dirasakan oleh semua anak bangsa.

Kondisi semacam  itu ternyata memantik simpati para pengajar muda. Mereka adalah sarjana yang mendedikasikan jiwa mudanya untuk terjun ke pelosok dengan bergabung dalam Program Indonesia Mengajar (IM). Perjuangan mereka berbanding terbalik dengan kondisi dunia keguruan saat ini. Banyak guru yang bermimpi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menyandang sertifikat, tapi mereka malah pergi ke pelosok. Kisah mereka bisa kita simak dalam buku  Indonesia Mengajar; Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri.

Buku ini memberi gambaran betapa terpuruknya pendidikan di Indonesia. Buku yang ditulis oleh para pengajar muda ini, mengisahkan pahit-manis pengalaman mereka selama mengajar setahun. Apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka lihat dikisahkan dalam buku ini.

Pengajar muda yang diterjunkan IM sebanyak 51 sarjana. Mereka diberangkatkan untuk mengabdi di pelosok negeri. Mengajar di Sekolah Dasar (SD) di desa-desa terpencil. Suatu daerah yang belum terjamah listrik maupun sinyal telepon seluler, sebagaimana yang diungkapkan Anies Baswedan dalam pengantar buku ini.

Membaca buku ini seolah menziarahi tempat-tempat pelosok di Indonesia. Berbagai ironi dapat kita lihat. Keterbatasan akses informasi serta kurangnya sarana prasarana menjadi hambatan utama anak-anak pelosok dalam mengenyam pendidikan. 

Di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur anak-anak harus berjuang untuk sampai di  sekolah. Mereka harus menyeberangi sungai untuk sampai di sekolahan. Jarak dengan sekolahan juga jauh. Banyak sekali rintangan. Seperti menembus panas maupun hujan dengan sampan kecil yang tak beratap (hal. 249). 

Optimisme 

Namun di balik keterbatasan itu ada optimisme. Upi misalnya, seorang bocah yang disebut oleh Rahmat Danu Andika dengan “Anak Berbahasa Angka” (hal. 13). Bocah yang berumur tujuh tahun itu menunjukkan kemahirannya dalam pelajaran matematika. 

Kegeniusan Upi disaksikan Rahmat ketika perjalanan menjenguk Ayono, salah satu murid kelas 5 SD yang sedang sakit. Ketika itu Rahmat memberikan tebakan kepada kakak Upi dengan soal-soal operasi bilangan matematika. Betapa terkejutnya Rahmat ketika Upi selalu menjawab soal-soal itu lebih dulu ketimbang kakaknya. Dan jawabannya nyaris selalu benar. 

Tak  hanya dari Upi optimistis muncul. Ada sekitar 21 anak  “ajaib” yang disebut dalam buku ini. Semuanya memiliki latar yang hampir sama: jauh dari kemajuan. Anak-anak ajaib itu bisa kita simak dari “Surat untuk Bapak Guru”, “Darai Belut Turun ke Hati”, dan kisah-kisah lainnya.

Pengabdian dan Cinta

Prasarana pendidikan di negeri kita masih banyak minusnya. Di daerah Moro Seneng Tulang Bawang Barat, Lampung, sebagaimana yang ditulis Selfi Mahat Putri, ada sekolah yang tak memiliki nama. Ia mengisahkan bangunan yang dipakai untuk sekolah anak-anak di sana layaknya sebuah kandang. Terdiri dari empat ruangan. Tanpa ruang guru. Sedangkan lantainya beralaskan tanah(hal.275).

Namun kondisi yang semacam itu tak membuat pengajar muda lelah. Mereka mengajar di Bengkalis (Riau), Halmahera Selatan (Maluku Utara), Majene (Sulawesi Barat), Paser (Kalimantan Timur) dan Tulang Bawang Barat (Lampung) dengan semangat pengabdian dan cinta. 

Senarai kisah dalam buku ini patut menjadi cermin introspeksi diri. Sepanjang cerita pembaca tidak akan menemukan pesimistis. Para pengajar muda mengajar dengan penuh semangat melunasi janji kemerdekaan. Mengabdi untuk negeri. Bahwa pendidikan adalah sebuah gerakan bersama. Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik.

Begitulah setidaknya apa yang diteriakkan buku ini. Buku ini hadir sebagai bentuk gerakan penyadaran kepada bangsa. Bagaimana memaknai pengabdian yang sesungguhnya. 

Abdul Arif, mahasiswa Fakultas Tarbiyah Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Mengabdi di Pelosok Negeri"