Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kampanye Kesalehan Intelektual

PIKIRAN MERDEKA, 28/03/2012


DUNIA akademik baru saja gempar. Bagaimana tidak, di saat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mendengung-dengungkan kebijakan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa, malah ada akademisi yang melakukan plagiasi.  
Ya, tiga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terbukti melakukan plagiasi. Kasus itu diketahui Ditjen Dikti karena ada kejanggalan pada karya ilmiah yang diajukan sebagai permohonan pengukuhan guru besar (Kompas, 5/3/2012). 

Sungguh ironis, calon kandidat guru besar melakukan hal yang tak patut ditiru. Apa pun bentuknya, plagiasi adalah kejahatan intelektual. Tindakan yang tegas harus diambil untuk memberi sanksi kepada para pelakunya.

Saya sepakat dengan Senat Akademik UPI yang memutuskan penurunan pangkat dan jabatan kepada tiga dosen plagiator itu. Putusan itu masih tergolong sedang jika dirunut dari Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Ditjen Dikti menemukan adanya praktik plagiasi pada karya ilmiah salah satu dosen UPI. Ada catatan kaki yang tidak dicantumkan  dan beberapa bagian tidak pada tempatnya. Artinya, mengutip gagasan tanpa menyebut sumber jelasnya.

Tindakan itu memang melanggar Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat. Dalam pasal 2 poin c disebutkan, plagiat meliputi penggunaan sumber gagasan, pendapat, pandangan atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai.

Namun, sanksi yang tegas saja tidak cukup untuk memberantas praktik plagiasi. Terbukti, sampai saat ini plagiarisme masih merebak di mana-mana. Tak hanya mahasiswa, dosen juga terjerat. Tindakan preventif lebih penting ketimbang menindak setelah terjadi kasus plagiasi.

Ubah Paradigma

Pada prinsipnya, penulisan karya ilmiah adalah upaya untuk mengembangkan pendidikan. Ia adalah salah satu unsur tri dharma perguruan tinggi (PT), yaitu penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dewasa ini banyak yang mengabaikan fungsi tersebut. Banyak kalangan memanfaatkan karya ilmiah guna menambah angka kredit  untuk mengejar jabatan tertentu.

Tak sedikit pula yang memilih jalan instan. Sehingga ketidaksabaran menduduki jabatan yang diidamkan menyeret seseorang untuk melakukan plagiasi. Paradigma semacam ini mendesak untuk segera diubah. Pasalnya, dikhawatirkan karya ilmiah yang dihasilkan menjadi asal-asalan. Asal jadi, jabatan jatuh ke tangan.

Kasus plagiasi dosen UPI sangat kelewatan. Kasus tersebut menunjukkan lemahnya sistem kontrol PT yang bersangkutan. Bagaimana karya ilmiah hasil plagiat oleh kandidat guru besar bisa lolos hingga ke tangan Ditjen Dikti? Perlu pembenahan di segala lini agar praktik plagiasi bisa terdeteksi.

Ada kemungkinan pihak PT memang sengaja berlaku permisif terhadap dosen tersebut. Apalagi dengan bertambahnya kuantitas guru besar di PT akan melambungkan namanya. Bisa saja para pelaku adalah orang-orang terdekat pemangku jabatan penting di PT atau pelaku memiliki wewenang di PT. Sehingga, pengujian keabsahan karya ilmiah dilakukan asal-asalan.

Ditjen Dikti perlu mengimbau seluruh rektor PT se-Indonesia untuk menekan praktik plagiasi. Regulasi yang ketat perlu dilakukan pihak PT agar suatu karya ilmiah benar-benar orisinal. Sehingga tidak memalukan ketika sampai ke tangan Ditjen Dikti.

Kesalehan Intelektual

Praktik plagiasi tak terlepas dari kebijakan PT. Seyogianya, imbauan untuk menulis karya ilmiah dilakukan sejak dini oleh PT. Sejak awal semester, mahasiswa seharusnya dibekali kompetensi menulis karya ilmiah. Ya, selama ini tradisi menulis mahasiswa maupun dosen sangat minim.

Bisa dihitung, mahasiswa meneliti dan  menulis ketika membuat skripsi. Begitu juga dosen meneliti dan menulis karya ilmiah demi mengejar kenaikan jabatan fungsional dalam PT. Hemat penulis, tradisi menulis di PT perlu digalakkan. Jika perlu menambahkan mata kuliah wajib jurnalistik dalam satuan kredit semester (SKS). Setidaknya memberi bekal kepada mahasiswa dalam kepenulisan. Sehingga mampu meminimalisasi praktik plagiasi.

Melalui jurnalistik, kejujuran bisa ditanamkan dalam diri civitas academica. Dengan jurnalistik pula kita bisa meneladani sifat-sifat Rasul. Jurnalisme mengajarkan kebenaran berita (shidiq), menjaga kepercayaan (amanat), menyampaikan berita dengan baik (tablig), serta memberikan sajian yang mencerdaskan (fatonah). Sehingga, cita-cita kesalehan intelektual mampu tercapai.

Selain itu, memicu mahasiswa menulis juga perlu dilakukan PT. Dalam hal ini IAIN Walisongo Semarang patut menjadi contoh. IAIN Walisongo memberikan penghargaan berupa uang dan piagam kepada mahasiswa yang tulisannya dimuat di media massa atau jurnal. Untuk media nasional diberi uang pembinaan Rp125 ribu dan media regional Rp100 ribu. Itu semua demi mengkampanyekan kesalehan intelektual. Begitu.

Abdul Arif
Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat
IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Kampanye Kesalehan Intelektual"