Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengkaji Kebijakan Publikasi Karya Ilmiah

SUARA MERDEKA, 11 Februari 2012

Beberapa jurnal ilmiah terserak di meja kerja
BARU-BARU ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melayangkan surat edaran kepada rektor se-Indonesia. Isi surat itu terkait kewajiban publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa.
Mahasiswa program sarjana wajib publikasi karya ilmiah di jurnal ilmiah. Untuk mahasiswa  program magister di  jurnal ilmiah nasional, dan untuk mahasiswa program doktoral harus di jurnal ilmiah internasional.
Kebijakan tersebut akan diberlakukan kepada lulusan setelah Agustus 2012 (Kompas, 6/2/2012).
Setidaknya ada tiga alasan yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nuh, terkait kebijakan itu. Pertama, untuk  menekan plagiarisme. Dengan adanya kebijakan publikasi karya ilmiah, menurut Nuh, akan lebih mudah mengontrol apakah suatu karya ilmiah orisinal atau plagiat. Kedua,  untuk pengembangan keilmuan. Dan ketiga, untuk mempercepat pengembangan keilmuan tersebut.
Surat tertanggal 27 Januari 2012 itu sontak menjadi perbincangan di kalangan civitas academica. Banyak yang mempertanyakan kejelasan isinya. Pasalnya, tak ada penjelasan karya ilmiah seperti apa yang wajib dipublikasikan. Selain itu, minimnya kuantitas jurnal ilmiah menjadi kendala bagi perguruan tinggi (PT). Di Indonesia, hanya ada 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti. Minimnya jurnal ilmiah tak mampu menampung ribuan karya ilmiah mahasiswa.
Menurut Nuh, karya ilmiah yang harus dipublikasikan bisa berupa rangkuman skripsi atau hasil praktikum mahasiswa. Terkait keterbatasan jurnal ilmiah, ia menyarankan langkah alternatif untuk membuat jurnal online.
Minim Kualitas
Langkah alternatif yang ditawarkan Mendikbud itu pun masih tak jelas. Jurnal online seperti apa yang dimaksudkan? Pasalnya, selama ini hampir semua PT di Indonesia memiliki koleksi karya ilmiah mahasiswa dalam bentuk online. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, mahasiswa wajib menyerahkan karya ilmiah versi digitalnya untuk dipublikasikan secara online.
Data dari Mendikbud menunjukkan, sepanjang 1996-2011 jumlah karya ilmiah Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal internasional hanya 12.871. Indonesia tertinggal jauh dengan publikasi karya ilmiah Malaysia yang mencapai 53.691. Demi mengejar ketertinggalan itu, publikasi karya ilmiah di Indonesia bakal menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa.
Franz Magnis-Suseno SJ, dalam tulisannya Dikti di Seberang Harapan, menilai kebijakan tersebut sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan  paksaan dan ancaman. Mahasiswa diancam tidak lulus jika karya ilmiahnya tak menembus jurnal.
Menurutnya, motivasi kepada para dosen dan mahasiswa lebih ampuh untuk mengangkat mutu intelektual. Alih-alih mengejar kuantitas, kebijakan itu justru mengabaikan kualitas yang seharusnya menjadi tujuan utama. 
Jika tak dikendalikan dengan sistem kontrol yang baik, akan memicu tumbuhnya jurnal-jurnal ilmiah yang tak berkualitas. Kebebasan yang diberikan Mendikbud kepada PT ataupun instansi lain untuk membuat jurnal ilmiah, rentan penyelewengan.  Dikhawatirkan, hal ini akan memicu tumbuh suburnya jasa perjokian di kampus-kampus.
Tak pelak, jika mahasiswa yang belum terbiasa menulis tergiur oleh jasa joki tersebut. Dengan beberapa lembar uang, karya ilmiah pun jadi dan siap dimuat di jurnal, sehingga kualitas jurnal ilmiah menjadi asal-asalan.
Picu Menulis
Bagaimanapun kebijakan ini sangat positif. Setidaknya memicu mahasiswa untuk belajar menulis. Ya, selama ini tradisi menulis mahasiswa sangat rendah. Mayoritas mahasiswa menulis ketika hanya ada tugas pembuatan makalah. Itu pun terkadang dikerjakan secara kelompok.
Untuk memperoleh keterampilan menulis, mahasiswa butuh waktu yang cukup  lama. Pasalnya, menulis artikel populer saja banyak yang belum bisa. Apalagi menulis karya ilmiah yang baik.
Imbauan menulis kepada mahasiswa seyogianya dilakukan oleh PT sejak semester awal. Dengan begitu, ketika mahasiswa hendak menempuh tugas akhir, sudah siap menulis karya ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah.
Sayangnya, kebijakan publikasi karya ilmiah ini terlalu mendadak untuk diterapkan. Perlu persiapan yang matang agar pelaksanaannya bisa maksimal. Hemat penulis, publikkasi karya ilmiah tak perlu menjadi syarat kelulusan. Alasannya, mari bertanya kepada mahasiswa, apakah sudah siap? (24)

Abdul Arif, Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, IAIN Walisongo, Semarang.



Post a Comment for "Mengkaji Kebijakan Publikasi Karya Ilmiah"