Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Geliat Sastra Kampus

OKEZONE, 27/02/2012

MANUSIA adalah hewan yang bicara. Segala tutur teratur menurut nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Begitu juga mahasiswa yang hidup di dunia kampus memiliki nilai yang diyakininya sendiri. Mendiskusikan apa yang menjadi isu kontemporer menjadi asupan sehari-hari. Di antara mereka ada yang idealis ada pula yang apatis. Dan kelak mereka akan keluar dari gerbang kampus membawa gelar sebagai wujud peraihan derajat intelektual yang tinggi.

Namun begitu ironis ketika mendengar tuturan satrawan Pramoedya Ananta Toer, bahwa pencapaian sederetan gelar apa pun tanpa mencintai sastra, baginya laiknya hewan yang pandai. Ya, ada yang luput dari bidikan para mahasiswa ketika membincangkan berbagai isu, baik sosial, budaya, pendidikan, ataupun yang lainnya. Satu perbincangan yang jauh dari sentuhan mahasiswa, yaitu sastra.

Ya, di kampus, sastra hanya diminati oleh orang-orang tertentu. Barangkali hanya mahasiswa Fakultas Sastra yang serius membincangkannya. Dan itu yang terjadi di beberapa perguruan tinggi (PT) di negeri ini.

Perbincangan tentang sastra seolah kalah dengan keramaian kampus. Padahal, sastra mampu menjadi wadah kreasi, sebagai catatan atas zaman yang terus bergulir. Sastra mampu merekam segala sesuatu yang menjadi kisah pergulatan intelektual kampus. Tak sebatas itu, sastra mampu menembus segala dimensi waktu.

Sepantasnyalah mahasiswa yang menyandang gelar kaum cendekia memanfaatkan dunia sastra sebagai cara "indah" mencatat hikayat intelektualnya. Karena barangkali civitas akademika butuh jalan lain penyampaian gagasan keilmuan. Membaca diktat kuliah dan buku-buku ilmiah lambat laun akan menciptakan kebosanan.
 
Butuh Apresiasi

Saya terkejut sekaligus bangga ketika ada seorang kawan, berulangkali karya cerpennya dimuat di beberapa media lokal maupun nasional. Bahkan karyanya pernah menjadi nominator lomba cerpen mahasiswa tingkat nasional. Padahal dia bukanlah mahasiswa jurusan sastra, melainkan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Itu bisa menjadi kebanggaan sekaligus menampik anggapan bahwa sastrawan harus lahir dari rahim Fakultas Sastra.

Dari kisah seorang kawan itu, seyogianya mahasiswa tak perlu lagi mengambil jarak lagi terhadap kajian sastra. Bahwa sastra bukanlah milik mahasiswa Fakultas Sastra, tetapi milik para pecintanya. Maka bukanlah sesuatu yang keliru jika mahasiswa dari jurusan apapun menggeluti dan mencintai sastra.

Di IAIN Walisongo Semarang misalnya, beberapa komunitas sastra mulai menggeliat. Kampus hijau yang basisnya agama itu patut menjadi contoh. Betapa para mahasiswa di kampus itu sibuk dengan diskusi-diskusi keagamaan, mereka masih menginfakkan waktunya bergelut dengan sastra.

Berawal dari cinta, lahirlah di kampus religius itu beberapa komunitas. Di antaranya Soeket Teki yang dibidani oleh Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Liksa oleh LPM Justisia, beranda sastra Edukasi milik LPM Edukasi, kelompok teater, dan komunitas-komunitas pecinta sastra lainnya. Kajian sastra menggaung di sudut-sudut kampus. Memberi penyempurnaan terhadap diskusi-diskusi yang ada selama ini.

Soeket Teki

Kehidupan sastra di kampus hijau kian menemukan ruhnya. Taruhlah misal komunitas Soeket Teki yang berhasil membidani kelahiran sastrawan Musyafak. Namanya yang kerap muncul di media koran, tabloid, media online, dan beberapa buku itu sekarang aktif mengelola komunitas Open Mind Semarang. Beberapa cerpennya masuk dalam antologi bersama "Tatapan Mata Boneka" (TBJT 2011), dan "Lelaki yang Dibeli" (Obsesi Press, 2011). Meski penggawa Soeket Teki itu telah menamatkan studinya, bukan berarti kelahiran sastrawan kampus hijau  bakal mandeg. Masih ada embrio-embrio yang bakal lahir yang menggandrungi sastra.

Meskipun dari latar agama, sastra yang diproduksi mahasiswa IAIN tak kalah dengan mahasiswa perguruan tinggi lainnya. Bahkan dengan sastra mereka mampu menyelipkan dakwah keagamaan. Meski fiksi tetapi sangat efektif dalam menyampaikan misi yang dikemas secara imaji.

Kelahiran komunitas sastra di IAIN barangkali bukan karena cinta semata. Ada kemungkinan mereka, para penggagasnya, merasa prihatin terhadap kehidupan sastra yang jauh dari majlis diskusi mahasiswa. Juga terhadap kemunculan sastra, barangkali bukan, yang kini bermunculan di beranda-beranda facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya.

Kehadiran komunitas-komunitas kecil semacam itu sepatutnya mendapat apresiasi. Fakultas Sastra yang memiliki kapasitas yang mumpuni dalam hal sastra perlu menggandeng mereka. Maka sepantasnyalah sastra layaknya 'Suket Teki' yang bisa tumbuh di mana-mana. Dan barangkali dari komunitas yang kecil itu akan lahir sastrawan yang mewariskan catatan besar.

Abdul Arif

Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat 
IAIN Walisongo Semarang

Post a Comment for "Geliat Sastra Kampus"