Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Terjebak Lingkaran Kemiskinan

Orang tua terbelit kemiskinan. Anak-anak terpaksa turun ke jalanan.


Sore itu langit mendung. Pemandangan di kawasan Pasar Johar begitu buram. Beberapa anak kecil bergerombolan di pinggir jalan. Mereka segera beranjak ketika sebuah bus angkot datang dan berhenti. Lalu salah satu di antara mereka masuk ke dalam bus. Di bus ia berkeliling mendekati para penumpang. Dengan menengadahkan tangan anak itu mengharap para penumpang mengulurkan tangan.


Anak itu bernama Dika. Ia tidak sendirian. Ia bersama ibunya, Darwati yang menggantungkan hidupnya dengan mengemis di jalan. Dalam sehari Darwati beroperasi selama delapan jam, mulai pukul 08.00 sampai 16.00. Ia mengaku, dalam jangka waktu itu ia dapat mengumpulkan Rp. 20.000 lebih. “Jumlah itu tidak tentu, kadang kurang, kadang lebih.” katanya.


Suaminya yang bekerja sebagai tukang becak tak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Meskipun ada dana BOS di sekolah, ia tak mampu menanggung biaya buku dan alat sekolah lainnya.


Selama ini ia hanya pasrah. Tak ada jalan selain meminta-minta di jalanan. Pikirnya, kalau mencari kerja pasti akan ditolak. Pasalnya, ia hanya berijazah Sekolah Dasar (SD). “Mending mengemis saja,” katanya pasrah.


Namun begitu Darwati masih bersyukur. Ia bersama anak-anaknya tak pernah kena razia. Menurutnya, jadwal razia tidak tentu. “Setiap saat kami harus waspada,” katanya. Ia takut kalau terjaring razia. Kepada Darwati, beberapa teman yang pernah kena razia bercerita, “Kena razia tidak enak.” Mereka dibawa ke kantor polisi bersama orang-orang gila.


Darwati tak bisa membayangkan jika sampai dirinya dan anak-anaknya terjaring razia. “Jika ada modal, saya akan jualan sayuran lagi saja,” ujarnya penuh harap.
Selain Darwati dan anak-anaknya, masih banyak lagi aktor jalanan di Kota Semarang. Catatan Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) Kota Semarang menunjukkan perkembangan kuantitas anak jalanan sejak 2000 mengalami fluktuasi. Data terakhir sebagaimana disampaikan kepala Dinas Sosial Jateng Adi Karsidi, jumlah anak jalanan Kota semarang pada 2011 mencapai 233 anak.

Aspirasi

Anak jalanan punya segudang mimpi.“Aku ingin jadi Polisi,” pekik Joko penuh semangat. Joko adalah siswa kelas empat SD. Ia mengemis di jalan untuk uang saku di sekolah.


Joko rela turun ke jalanan untuk mengais rupiah atas inisiatif sendiri. Berbeda dengan Riska, temannya yang mengaku atas dorongan orang tua. “Ibu yang menyuruh minta-minta di jalan,” aku gadis kecil yang juga duduk di kelas satu SD itu.
Melihat nasib anak jalanan yang sangat memprihatinkan, beberapa pemuda yang tergabung dalam Setara mencoba melakukan upaya. Setara adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang memberikan perhatian terhadap hak-hak anak di Semarang. Lembaga ini berdiri sekitar 1996.


“Kami sebatas partner pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Ira Nita Wijayanti salah satu pengelola Setara.


Ira mengatakan, lebih dari seratus anak jalanan berada dalam naungan lembaganya. Kebanyakan mereka adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu. “Ada juga dari keluarga mampu,” ungkap Ira saat ditemui di kantornya, Sampangan Baru Blok A/14 Semarang.


Kegiatan Setara lebih fokus kepada agenda pendidikan. Yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan nonformal bagi anak jalanan. Ira menuturkan ada 20 tutor yang turut membantu. Mereka bekerja lima hari dalam seminggu, yaitu Senin-Jumat. “Soal jadwal belajar kondisional,” jelasnya.


Fasilitas yang diberikan Setara pun cukup memadai. Anak-anak disediakan alat tulis dan perpustakaan. Selain pelajaran sekolah seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan lainnya, anak-anak juga diajari bermain alat musik dan menjahit. “Setiap kamis mereka berlajar main guitar,” tutur Ira.


Setara hanya mendampingi anak-anak jalanan sampai usia 18 tahun. Harapannya upaya itu dapat membantu anak jalanan menggapai mimpi dan masa depan lebih baik.


Sindikat
Di tengah upaya pemerintah mengentaskan anak jalanan, kuantitas mereka tetap besar. Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Walisongo Semarang, Mohammad Fauzi menengarai ada sindikat yang terlibat dalam kasus anak jalanan. “Mereka dipekerjakan,” duganya.


Menurutnya, ada orang yang sengaja mengeksploitasi anak-anak untuk turun ke jalanan. “Anak-anak didrop di jalanan, ketika sore dijemput lagi dengan mobil,” terang dosen Fakultas Dakwah itu.


Fauzi menduga berdasarkan asumsi masyarakat umum. Ia sendiri pernah menyaksikan, di sebuah lampu trafik ada seorang yang menjadi koordinator anak-anak jalanan.
Kasus semacam itu pernah diungkap dalam sebuah investigasi di salah satu setasiun televisi. Di situ ditayangkan ada ibu-ibu membawa seorang anak. Setelah ditelusuri, ternyata bukan anaknya sendiri. Dia anak sewaan.


Selain itu, Fauzi menambahi, ada juga anak yang terpaksa turun ke jalanan karena faktor keluarga tidak mampu. Hal itu diakui Darwati. Ia mencari nafkah dari jalanan sejak lima tahun lalu. Tepatnya pada 2007 silam. “Tak ada lagi modal untuk dagang sayuran,” aku ibu enam anak itu sambil mengenang masa lalunya. Sejak itu ia mengajak anak-anaknya turun ke jalanan.


Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Semarang pada 2008 menunjukkan, sebagian besar anak jalanan di Semarang berusia 13 tahun dan tidak bersekolah (60,79%). Mereka menjadi pengamen dan berasal dari keluarga berpendidikan rendah dengan penghasilan kurang.


Penelitian itu membeberkan, mayoritas orang tua anak jalanan memiliki penghasilan rata-rata Rp. 625.000,- perbulan. Hasil penelitian itu semakin memperkuat pendapat “kemiskinan” sebagai penyebab utama anak turun ke jalanan. Angka prosentasenya mencapai 83,33%.


Jika penelitian itu benar, Fauzi menuding pemerintah harus berada di garda terdepan untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. “Komponen bangsa yang lain hanya bisa membantu sesuai bidangnya,” jelasnya.


Sementara itu dalam reportase TVKU Juni lalu kepala Dinas Sosial Jateng Adi Karsidi mengatakan, 2013 mendatang Jateng akan bebas dari anak jalanan. Ia menghimbau masyarakat agar mendukung target tersebut dengan tidak memberikan uang kepada anak jalanan di jalan. Dengan upaya tersebut ia yakin, anak jalanan tidak lagi menggantungkan hidup dengan mengemis dan mengamen di jalan.


Namun Fauzi merasa pesimistis terhadap langkah itu. Menurutnya langkah untuk mengentaskan anak jalanan pada 2013 omong kosong belaka. Ia menilai, larangan memberi uang di jalan kepada anak jalanan tidak bisa menyelesaikan masalah.
“Anak jalanan akan berkurang jika ada penyadaran mental dan dukungan ekonomi dari negara,” katanya tegas.(Amanat 117)

Post a Comment for "Terjebak Lingkaran Kemiskinan"