Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adiluhung yang Terlupakan

Dolanan tradisional anak-anak kian menjauh dari peradaban. Kepergiannya membuat anak-anak kehilangan “pertemanan”.


Oleh Afiyati Badriyah


Pasinah bingung mencari anaknya, Wawan. Anak itu biasanya bermain petak umpet, atau kalau tidak bersepeda di sekitar rumah. Tapi kini tak terlihat batang hidungnya. Hingga sore menjelang, ia baru pulang. Seharian dicari tak ketemu, ternyata Wawan dan teman-temannya bermain play station (PS) di rental dekat sekolah. Ia pulang setelah beberapa lembar uang sakunya ludes untuk main PS.
Siswa kelas enam Sekolah Dasar (SD) itu menghilang usai pulang sekolah. Ya, sepulang dari sekolah ia terus menanggalkan seragam dan pergi lagi. Lalu menuju rental PS.


Demam PS yang dialami Wawan itu membuat ibunya khawatir. Akhir-akhir ini uang jajannya selalu habis dipakai bermain PS. Keadiran rental PS di desanya membuat anak itu enggan bermain-main di sekitar rumah.


Kehadiran PS dan mainan moderen lain menggusur keberadaan dolanan tradisional. Anak-anak, seperti dilakukan Wawan dan teman-temannya, lebih memilih mainan moderen dibanding dolanan tradisional.


Guru Besar Fakultas Seni dan Bahasa Universitas Negeri Semarang (UNNES) Muhammad Jazuli prihatin terhadap hal tersebut. Ia menilai beberapa tahun terakhir perkembangan dolanan tradisional anak kian tergusur oleh berbagai media maupun permaianan modern saat ini.


Mamang, saat ini beberapa komunitas dan instansi pemerintah ramai-ramai mengangkat kembali dolanan anak tradisional. Upaya itu mereka kemas dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk festival dan pertunjukan. Dolanan anak dipentaskan di atas panggung diiringi nyanyi-nyanyian.


Tetapi Jazuli menilai, ikhtiar semacam itu kurang efektif. “Usaha semacam itu hanya melestarikan dari sisi apa yang tampak, belum bisa menjamin esensi dolanan anak,” tegas lelaki yang suka wayang itu.


Ia menjelaskan, substansi dolanan anak tradisional adalah agar anak-anak bisa berkumpul, bekerjasama, serta mampu bersosialisasi dengan teman-temannya. Jazuli meyakini dolanan anak tradisional memiliki misi tertentu. Ia mencontohkan lagu lir-ilir sebagai dakwah Sunan Kalijogo. “Lagu lir-ilir diciptakan untuk menggiring perhatian masyarakat agar tertarik dengan Islam,” jelas Jazuli.


Kroeber dalam Sukirman Dharmamulya (2008) berpendapat bahwa seandainya nenek moyang manusia tidak mempunyai gairah bermain, barangkali kita akan mewarisi kebudayaan yang miskin akan keindahan ataupun miskin dengan kecendikiawan.


Dolanan tradisional anak-anak sarat akan nilai. Sebagaimana yang dikatakan Tashadi (1993), permainan tradisional anak-anak di Jawa mengandung nilai-nilai budaya tertentu. Di samping itu dolanan memiliki fungsi melatih pemainnya untuk melakukan hal-hal yang berguna untuk kehidupan mereka di tengah masyarakat nantinya.
“Nilai-nilai itu akan tertanam sejak dini dan ketika dewasa tinggal dikembangkan,” Jazuli menambahi.


Namun realitanya, posisi dolanan tradisional anak-anak kian tergeser oleh permainan modern yang marak dewasa ini. Permainan modern, seperti dikatakan Sumintarsih (2008), semakin menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan, dari komunalistik ke induividualistik.


Alternatif
Jazuli mengakui, setiap zaman memiliki warna tersendiri. Anak-anak yang lahir pada zaman tertentu diikuti dengan dolanan yang berkembang pada zaman itu. “Tidak menutup kemungkinan, generasi sekarang menciptakan permainan baru yang bisa membungkus nilai-nilai sosial,” tuturnya.


Sementara itu sebuah komunitas yang didalangi mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) mencoba menciptakan inovasi baru permainan anak. Mereka menyebut dirinya komunitas Toys Design Center (TDC). Puluhan karya telah mereka ciptakan. Beberapa telah dikenalkan dan dipamerkan kepada masyarakat.


Pada pemeran Caraka Fest 2011 yang digelar di hotel Gumaya Semarang karya mereka selalu dilirik pengunjung. “Karya yang kami buat memanfaatkan bahan bekas,” kata koordinator TDC, Bhekti Haryo Suyono saat ditemui Amanat.


Menurut Bhekti komunitas ini berdiri atas keprihatinan terhadap serbuan mainan anak-anak dari negara asing yang murah dan sangat menarik, tapi miskin edukasi. Dalam praktiknya komunitas ini memproduksi mainan-mainan mekanik. “Kami juga berupaya mempertahankan permainan tradisional dan melestarikannya,” imbuhnya.


Ia mencontohkan mainan tradisional otot-otok yang biasanya berbahan bambu, oleh komunitas TDC dibuat dengan desai yang lebih menarik, dilengkapi dengan teori dasar sainsnya. Idenya itu ia tularkan melalui berbagai pelatihan kepada masyarakat.
Kehadiran mainan semacam itu dianggap Jazuli sebagai alternatif dari dolanan tradisional anak yang kian tersingkir. Ia tidak bisa menjamin permainan itu mampu menggantikan esensi dolanan tradisional. “Yang terpenting adalah dolanan itu bisa mengumpulkan anak-anak,” tandas Jazuli.


Namun, pada kenyataannya anak-anak zaman sekarang tidak memikirkan apakah permainan itu bernilai atau tidak. Mereka lebih suka pada permainan yang menarik. Sebagaimana Wawan yang lebih suka bermain PS. “Bermain PS lebih asyik. Permainannya sangat seru!”, aku siswa kelas 6 SD itu.


“Apapun kalau fungsional akan digemari masyarakat,” tutur Jazuli. Ia mencontohkan pagelaran ketoprak di beberapa daerah di Jawa Tengah yang masih eksis. “Ketoprak itu masih hidup karena didukung dan digemari oleh masyarakat, meskipun hanya sedikit,” Ia melanjutkan, “Sama halnya dengan dolanan anak, jika anak-anak mendukungnya, akan tetap ada.”


Dolanan anak adalah karya adiluhung yang harus dipertahankan. Jazuli menyarankan, upaya untuk melestarikan dolanan anak harus dimulai dari keluarga. “Kalau keluarga mendukung, dengan sendirinya akan muncul gairah anak terhadap dolanan tradisional.”


Begitu juga sekolah. Bagi Jazuli, sekolah memiliki peran strategis dalam melestarikan dolanan tradisional anak-anak. Ia berharap agar di sekolah-sekolah tingkat dasar dikenalkan dolanan tradisional anak-anak tempo dulu. “Bisa melalui buku-buku atau video.”


Namun sayang, tak banyak sekolah menyadari itu. Seorang guru SD di Kecamatan Ngaliyan Semarang mengaku, di sekolahnya hanya mengajarkan sesuai kurikulum dari pemerintah. “Kami tidak mengajarkan dolanan tradisinal karena di kurikulum tidak ada,” kata guru yang tidak mau disebut namanya itu.


Jazuli menyayangkan sikap guru sekarang yang minim kreativitas. “Padahal kurikulum hanya pedoman. Bisa dikreasikan dan dikembangkan,” tuturnya. Ia menambahkan, pemerintah juga harus tanggap dan proaktif menggerakkan lembaga-lembaganya untuk mempertahankan budaya.(Amanat 117)

Post a Comment for "Adiluhung yang Terlupakan"