Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mewarnai Sejarah Kartun di Indonesia

30 Oktober 2010
ERA 1980-1990-an disebut-sebut sebagai masa kejayaan kartun Indonesia. Itulah masa ketika kartun beroleh apresiasi yang baik dari masyarakat. Banyak kartunis lahir, banyak pameran dan lomba digelar. Media massa pun memberi ruang yang cukup bagi penampilan karya-karya kartunis Indonesia.


Kehadiran Secac turut mewarnai era yang hiruk-pikuk itu. Selain mengisi rubrik kartun di pelbagai media cetak, mereka juga kerap menggelar aneka kegiatan. Taruh misal Lomba Kartun Sumpah Pemuda se Jateng dan DIY (1983), Temu Kartunis dan Pameran Kartun Nasional (1983 dan1985), festival kartun Canda Laga Mancanegara (1988), dan Lomba Kartun Jamu Tradisonal (1990).


Dari semua kegiatan itu, Canda Laga Mancanegaralah yang paling fenomenal. Betapa tidak? Itulah festival kartun tingkat dunia pertama yang digelar di Asia Tenggara. Perhelatan tersebut melibatkan kartunis-kartunis kondang dari 37 negara, antara lain Jarolslav Dodal (Chekoslovakia), Borislav Stankovic (Yugoslavia), Carlos Raul Ortiz (Argentina), 3 Yeb (Uni Soviet), Jean Etienne Rousseau (Prancis), Wang Wei (China), Hiroshi Kasamatsu (Jepang), dan Joseph George Szabo (USA).


Kelak, Canda Laga Mancanegara tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai festival kartun dengan peserta terbanyak. Rekor itu baru terpecahkan oleh Pameran Kartun Internasional di Sanur, Bali pada Agustus 2008.


Dan yang membanggakan, Canda Laga Mancanegara berlangsung sukses. Padahal sebelumnya banyak suara-suara sinis yang meragukan kemampuan awak Secac. Thomas Leonard yang kemudian menjadi kartunis Suara Pembaruan misalnya bilang, adalah sebuah keajaiban kalau Semarang bisa melakukannya.


Perhelatan kartun yang diselenggarakan Secac, kata Koesnan Hoesie, seorang awak Secac, senantiasa beroleh apresiasi positif dari publik. Gedung yang digunakan kerap sesak. Bahkan pernah suatu ketika kaca Wisma Pancasila yang digunakan untuk pameran Secac pecah akibat banyaknya pengunjung.


”Pengunjung pameran kartun itu luar biasa banyaknya. Sepertinya hanya bisa disaingi oleh penonton konser Bimbo dan Koes Plus. Bahkan menurut data statistik, pameran kartun itu merupakan jenis pameran yang paling banyak ditonton masyarakat setelah pameran peninggalan Bung Karno.
Vakum
Anggota Secac juga aktif mengikuti festival-festival kartun internasional. Tak sekadar partisipan, mereka juga kerap menjadi juara. Taruh misal Koesnan Hoesie, Ikhsan Dwiyono, dan Jitet Koestana. Jitet bahkan bisa disebut langganan juara. Nama lelaki kelahiran 4 Januari 1967 itu pada 1998 tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai peraih penghargaan internasional terbanyak, yakni 36 buah. Kini angka itu tentu jauh bertambah.


Memasuki tahun 2000-an, kartun Indonesia lesu darah. Barangkali salah satu sebabnya adalah pengurangan rubrik kartun di media cetak akibat krisis ekonomi yang dimulai sejak 1997. Kelompok-kelompok kartun yang dulu bersemangat pun mulai loyo. Demikian halnya yang dialami Secac. Yehana dan kawan-kawan mulai jarang berkegiatan. Terakhir, mereka menyelenggarakan ”Festival Kartun Semarang Tertawa” pada Juli 2005.


Meski bertahun-tahun vakum, Secac tak pernah betul-betul bubar. Setidaknya demikian pengakuan awak Secac saat dikonfirmasi. ”Secara kelembagaan Secac memang sudah tidak aktif, tapi secara spiritual ia tetap hidup. Ini soal pergeseran zaman. Kalau dulu Secac punya semangat komersial dan romantisme, kini yang tersisa hanya komersialnya saja. Jadi semangat untuk ngumpul-ngumpul seperti dulu nyaris tidak ada lagi. Terlebih kami kini punya kesibukan sendiri-sendiri,” ujar Prie GS.


Namun seandainya kelak Secac benar-benar mati, Prie tak akan menyesali. Secac, kata dia telah memberi banyak kontribusi bagi sejarah perkembangan kartun di Indonesia. (Rukardi-16)

Post a Comment for "Mewarnai Sejarah Kartun di Indonesia"